Mohon tunggu...
Supriardoyo Simanjuntak S.H.
Supriardoyo Simanjuntak S.H. Mohon Tunggu... Lainnya - Pembela Umum LBH Mawar Saron Jakarta

Hukum Untuk Manusia Bukan Manusia Untuk Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Suatu Kesepakatan yang Lahir dari Perjanjian, Bisakah Dipidana?

4 April 2023   09:01 Diperbarui: 4 April 2023   10:29 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan:

Selamat Pagi Bapak, Saya Putri Ayuningsih dari Nagoya mau menanyakan Tentang keluarga saya yang saat ini memiliki masalah hukum. Pada saat pandemi, keluarga saya meminjam uang dari tetangganya sebesar Rp.30.000.000 untuk modal bisnis dengan jangka waktu pembayaran 6 kali cicilan, akan tetapi pada cicilan ke 3 keluarga saya itu tidak mampu mencicil hutangnya. Karena tidak sanggup lagi mencicil utangnya keluarga saya dilaporkan oleh tetangganya ke pihak kepolisian dengan dugaan penipuan? Apakah dengan tidak bisa membayar cicilan tersebut keluarga saya dapat dipidana?

 

Jawaban:

Perjanjian dan syarat-syarat sahnya perjanjian 

Pengertian Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata,  "Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih".

Selain dari Pasal 1313 KUH Perdata, K.R.M.T. Tirtodiningrat, SH. Juga menjelaskan "bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenalkan oleh undang-undang". Jadi berdasarkan kaidah hukum tersebut perjanjian merupakan perbuatan yang mengikat atau persetujuan dua pihak atau lebih melahirkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak sehingga jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dengan sukarela pihak yang lain dapat menuntutnya dipengadilan.


Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Mengingat begitu pentingnya dan begitu kuatnya kekuatan mengikat suatu perjanjian maka tidak sembarang membuat perjanjian, ada beberapa "syarat-syarat perjanjian" sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:

  • Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  • Suatu hal tertentu;
  • Suatu sebab yang halal.


Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya (SYARAT SUBJEKTIF)

Kata sepakat dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam perjanjian atau para pihak sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan dengan syarat tidak ada cacat kehendak. Cacat kehendak disini dapat terjadi karena kekhilafan atau diperoleh nya dengan paksaan atau penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Misalkan mereka sepakat untuk melakukan perjanjian hutang piutang, cara pengembalian dana yang dipinjam dan penyelesaian apabila terjadi sengketa seperti apa, dsb.


Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan (SYARAT SUBJEKTIF)

Pada dasarnya setiap orang cakap untuk membuat suatu perikatan-perikatan kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. Berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata yang dikatakan tak cakap untuk membuat suatu perjanjian antara lain:

  • Orang yang belum dewasa.
  • Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (seperti cacat, gila, boros, telah dinyatakan pailit oleh pengadilan, dsb).
  • Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (ketentuan ke 3 ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dengan kata lain, yang cakap atau yang dibolehkan oleh hukum untuk membuat perjanjian adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur genap 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata), dan orang yang tidak sedang di bawah pengampuan.


Suatu hal tertentu (SYARAT OBJEKTIF)

maksudnya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannya) harus jelas. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: "Suatu Perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya"

Dari kaidah hukum diatas, maka dalam membuat suatu perjanjian setidaknya jenis barangnya itu harus ada. Misalnya, Perjanjian jual beli tanah dengan luas 500 m2 yang terletak di Jl. Sudirman Center.


Suatu Sebab Yang Halal (SYARAT OBJEKTIF)

berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang berbunyi:

"suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau aoabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum".

Dari kaidah hukum diatas, telah secara jelas mengatakan tidak boleh membuat suatu perjanjian apabila dilarang oleh undang-undang, Misalnya melakukan perjanjian jual beli Narkoba, atau perjanjian jual beli orang/manusia, dsb.

Bentuk-Bentuk Wanprestasi Dan Apa Bentuk-Bentuk Itikad Buruk Dalam Perjanjian

Bentuk Bentuk Wanprestasi, Menurut Subekti adalah:

Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan

Misalnya, A dan B sepakat melakukan jual beli sepeda. A sudah menyerahkan sejumlah uang untuk pembayaran sepeda, tapi B tidak juga menyerahkan sepeda miliknya kepada A. Sebab sepeda tersebut sudah dijualnya ke orang lain. Dalam hal ini B telah wanprestasi karena dia tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan yaitu menyerahkan sepedanya kepada A sebagaimana yang sudah disepakati/diperjanjikan.

Melakukan apa yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan

Misalnya, A dan B sepakat melakukan jual beli kursi. A memesan/membeli kursi berwarna biru dari B. tapi yang dikirim atau yang diserahkan B bukan kursi warna biru tapi warna hitam. Dalam hal ini B sudah wanprestasi karena melakukan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya.

Melakukan apa yang sudah diperjanjikan tapi terlambat

Misalnya A membeli sepeda motor dari B, dan B berjanji akan menyerahkan sepeda yang dibeli A tersebut pada tanggal 15 Juni 2022 tapi faktanya B malah menyerahkan sepeda motor tersebut kepada A tanggal 5 Juni 2022 yang artinya sudah telat 10 hari dari yang diperjanjikan. Dalam hal ini B sudah wanprestasi yaitu melakukan apa yang sudah diperjanjikan tapi terlambat.

Melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan

Misalnya A menyewakan rumahnya kepada B, di dalam perjanjian sewa disepakati bahwa B dilarang menyewakan lagi rumah A tersebut ke orang lain. faktanya B menyewakan rumah A yang ia sewa itu ke pihak ketiga/orang lain. Dalam hal ini B sudah wanprestasi karena melakukan sesuatu yabg oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.

Bentuk-Bentuk Etikad Buruk Dalam Perjanjian

Pada dasarnya dalam pembuatan suatu perjanjian harus didasarkan atas etikat baik dimana para pihak wajib untuk berpegang teguh terhadap janji atau perkataan, tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan salah satu pihak dan para pihak wajib mematuhi kewajibannya dan berlaku jujur. Akan tetapi dalam realita yang terjadi ternyata tidak semua pihak mampu beretikad baik. Maka dari itu, terdapat beberapa hal yang menjadi bentuk-bentuk Etikad Buruk dalam perjanjian, diantaranya:

Kesesatan/kekhilafan/dwaling

Kesehatan/kekkhilafan diatur dalam Pasal 1322 KUH Perdata bahwa kehendak seseorang dalam menutup kontrak terkait dengan hakikat benda atau orang. Hakikat barang adalah sifat atau ciri dari barangnya yang merupakan alasan bagi kedua belah pihak untuk mengadakan kontrak. Jika kesesatan mengenai orang dinamakan error in persona tetapi jika kesesatan megnenai barang disebut sebagai error in substantia.

Paksaan/dwang

Paksaan/kekhilafan diatur dalam Pasal 1323-1327 KUH Perdata dimana keadaan atau situasi seseorang melakukan kekerasan dalam menutup kontrak di bawah ancaman yang melanggar hukum yang menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan. Disini paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu dapat menakutkan seseorang berfikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan bagi orang tersebut.

Penipuan

Penipuan diatur dalam Pasal 1328 KUHP Perdata yang menjelaskan bahwa penipuan adalah salah satu alasan untuk membatalkan persetujuan apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa. Dalam hal ini penipuan tidak dapat dipersangkakan melainkan harus dibuktikan

Apakah suatu perjanjian dapat menjadi tindak pidana?

Secara umum telah penulis uraikan sebelumnya bahwa timbulnya suatu perjanjian harus disepakati dengan etikad baik tanpa adanya kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1321 KUH Perdata sehingga tidak bisa dibawah ke ranah pidana. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, berbunyi:

"Tidak seorangpun atau putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang"

Selain itu, Mahkamah Agung telah menetapkan kaidah hukum yang dituangkan dalam Yurisprudensi No 4/Yur/Pid/2018 yang mana pada intinya menyebutkan:

"Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, KECUALI JIKA PERJANJIAN TERSEBUT DIDASARI DENGAN ITIKAD BURUK/TIDAK BAIK."

Namun apabila ditemukan dalam pembuatan perjanjian tersebut ditemukan telah terjadi adanya etikad buruk/tipu muslihat maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 1328 KUH Perdata, berbunyi:

"Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat."

Berdasarkan kaidah hukum tersebut, apabila ditemukan adanya unsur penipuan yang terjadi dalam pembuatan perjanjian, ditandai dengan adanya unsur tipu musihat dari salah satu pihak. Maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan. Tidak hanya disitu saja, apabila memang dalam pembuatan perjanjian tersebut ditemukan ada unsur penipuan. Yang mana penipuan merupakan salah satu tindak pidana. Maka pihak yang dirugikan dapat melaporkan pihak yang diduga melakukan penipuan tersebut ke kepolisian untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan apakah benar perbuatan tersebut tergolong dalam tindak pidana penipuan sesuai Pasal 378 KUHP atau tidak.


Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor  4/Yur/Pid/2018;

Subekti, Hukum perjanjian, Jakarta : Intermasa, 2005

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun