Persepsi awal terhadap kata mencuri tentu tidak akan jauh dari makna Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-bunyi. Tanpa merujuk kamus pun, sebenarnya persepsi itu sudah sebangun dengan makna yang ada di pikiran kita. Namun, bagaimana halnya dengan judul tulisan ini: mencuri angka? Bukankah rangkaian kata ini juga sudah terlalu lumrah kita dengar? Biasanya di setiap pertandingan sengit, ditandai susul-menyusul perolehan poin, kedua kata itu disematkan dalam berita.
Secara cermat bandingkan saja konteks mencuri dalam KBBI di atas dengan mencuri angka di pertandingan. Dalam kamus, titik tekan pengertian dasar mencuri, yakni mengambil milik orang lain tanpa izin, tidak sah, dan sembunyi-bunyi. Makna ini tentu berbeda jauh dan tidak sepadan dengan mencuri angka di pertandingan.
Secara realita, pertandingan tentu mencari kemenangan, satu sama lain saling mengalahkan, dan adu kemampuan. Pemain yang tangguh dalam segala hal tentu akan bisa memenangi pertandingan. Patut diapresiasi, kemenangan itu tentu bukan hadiah dari lawan, hanya bisa didapat dengan perjuangan. Untuk menambah satu angka saja, upaya yang dilakukan sudah luar biasa. Bercucur keringat.
Lalu pantaskah upaya sang pemain itu disamakan dengan mencuri angka? Diksi ini dirasa merendahkan. Upaya yang gigih dan luar biasa hanya diganjar dengan sebutan mencuri. Terlalu bukan? Untuk sebuah kemenangan, justru mereka telah berjuang mati-matian. Apalagi, perjuangan itu, katakanlah, untuk sebuah martabat bangsa, tegaknya Merah Putih dan kumandang Indonesia Raya.
Selain itu, kata mencuri angka kehilangan logika. Pemain tidak sedang mengambil hak orang lain, tetapi hanya memperebutkan angka. Perebutan yang wajar dan sah. Dilakukan secara terbuka dan bahkan disaksikan oleh banyak orang, jauh dari kesan sembunyi-sembunyi.
Pergeseran kata mencuri dalam KBBI untuk sebuah upaya menambah angka dalam suatu pertandingan dirasa mengaburkan makna. Kata mencuri yang sesungguhnya tidak beretika dan berasosiasi negatif dipaksa memiliki sensasi netral dan cenderung positif. Kesan mencuri dibiaskan ke dalam sesuatu yang baik, yakni ingin menstigma bahwa mencuri bukan hal tabu untuk dilakukan. Pemaknaan bahasa itu hendak dibelokkan pada kesan yang positif. Namun, justru bermakna negatif digunakan dalam kata mencuri angka.
Tak jarang pergeseran kata mencuri ini berkesan positif karena dirangkaikan dengan kata yang notabene memang bernilai rasa positif. Sebut saja gabungan kata mencuri salam (arti secara bebas: menjawab salam yang bukan ditujukan kepada kita), mencuri perhatian (misalnya, stan itu mencuri perhatian pengunjung), dan mencuri hati (berarti menggugah rasa ingin tahu). Sebelum dirangkaikan dengan kata mencuri, kata-kata seperti salam, perhatian, dan hati telah bermakna positif. Kesan-kesan ini dipaksakan berparadigmatik dengan mencuri angka. Padahal, jelas-jelas berbeda makna dan rasa.
Untuk sebuah apresiasi, eloknya diksi mencuri angka diganti saja dengan kata menambah poin/angka, memperkecil jarak skor, melewati skor lawan, berhasil melampaui skor, sukses memenangi pertandingan, dan lain sebagainya. Kata-kata itu lebih berlogika dan tidak kehilangan daya konotasi positifnya. Hidup dan mengena.
@Suprianto Annaf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H