Mungkin kata-kata menyerah terdengar negatif dan tidak jantan, tidak heroik, tidak bisa diandalkan. Barangkali kata-kata “menyerah” selama ini diidentikkan dengan kalah, sehingga kata tersebut tidak begitu disukai, dan sebisa mungkin dihindari.
Setiap orang dalam hidupnya pasti menghendaki kesuksesan, dan kesuksesan itu diidentikkan dengan kemenangan, menang itu lawan kata dari kalah, sehingga kalau menghendaki kesuksesan maka pantang untuk kalah, pantang untuk menyerah.
Sekilas tidak ada yang salah dan keliru dengan ungkapan diatas, harus sukses, harus menang, jangan gagal, jangan kalah, jangan menyerah. Namun bila dipikir lebih mendalam, ada kesan menafikan kodrat kemanusiaan, dan kalau pemikiran itu terus menerus dipelihara, tanpa sadar akan membawa kerugian bagi manusia itu sendiri.
Manusia sejatinya adalah mahluk yang diciptakan dengan kadar tertentu. Ada batasan-batasan yang membatasinya, karena unsur penciptaannya. Sebagai contoh, manusia adalah mahluk yang tercipta dengan paru-paru dan kebutuhan akan oksigen, karena itu manusia dibatasi hidupnya hanya pada wilayah yang memang tersedia cukup oksigen. Bila ada manusia yang nekat tinggal di ruang hampa udara tanpa oksigen, ia konyol, mencelakakan dirinya sendiri.
Contoh diatas ditinjau dari aspek fisik. Demikian juga keterbatasan manusia dapat kita tinjau dari aspek psikis. Manusia diciptakan dengan desain keterbatasan psikis. Manusia dibatasi dengan perasaannya. Ia tidak akan mungkin akan selamanya merasa bahagia, pasti ada batasnya, ia juga tidak mungkin selamanya merasa duka, pasti juga ada batasnya. Semua manusia pasti pernah merasakan kecewa, juga merasakan gembira, pernah sedih, dan juga pernah bahagia. Tidak akan selamanya sedih atau kecewa, pasti ada saat berganti suasana hatinya.
Tuhan yang menciptakan manusia, sungguh mengerti kodrat manusia dan sekaligus mengerti kebutuhannya. Karena itu Tuhan menciptakan kondisi kehidupan manusia yang sesuai untuk kodratnya. Ada suasana sedih, ada suasana gembira dan seterusnya, masing-masing ada kadarnya, ada batasannya.
Karena itu bila manusia memaksakan dirinya untuk terus menerus sukses, untuk terus menerus menang, maka ia mengingkari kodratnya. Kodrat manusia harus merasakan sukses juga gagal. Sukses dicapai dan dirasakan agar ia dapat menghargai suksesnya, dan dapat menikmati “rasa” suksesnya. Karena bagaimana mungkin ia dapat merasakan nikmatnya sukses bila ia tidak pernah gagal dalam hidupnya? Kalau demikian pastilah hambar rasanya, datar-datar saja. Jadi gagal itu sesungguhnya merupakan nikmat, agar saat sukses nanti dapat dirasakan betul perbedaannya.
Dengan demikian, baik sukses maupun gagal sesungguhnya merupakan dua sisi yang akan memoles proses hidup manusia dalam mengarungi hidup. Manusia harus berusaha maksimal untuk meraih impiannya, namun janganlah ia terlalu berharap sukses, karena bila demikian, bila ia gagal, maka pasti kecewa berat yang didapat.
Sikap bijak yang sesuai dengan kodrat manusia adalah, berusaha maksimal, kemudian berserah, berpasrah pada Dzat yang maha menentukan apa yang terbaik buat kita. Tugas kita hanya berusaha maksimal, kemudian berserah padaNya. Biarlah ketentuan itu tetap ada pada-Nya.
Dengan berserah dan berpasrah, sesungguhnya manusia telah melepaskan beban yang menumpuk di pikirannya. Berserah dan berpasrah setelah berusaha maksimal secara psikologis lebih sehat dan lebih menentramkan jiwa. Wallahu A’lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H