Jakarta - 6th Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) 2022 yang berbarengan dengan Milad MUI ke-47 mengangkat tema "Peran Fatwa MUI dalam Perubahan Sosial" (26-28/07/22). Tema ini menyiratkan pesan kuat bahwa MUI akan terus mengawal perubahan demi perubahan yang terjadi kini, esok hari, dan di masa-masa yang akan datang nanti. MUI akan memainkan peran aktif dalam setiap perubahan sosial yang terjadi.
50 pemakalah hadir di konferensi ini sebagai narasumber. Mereka yang notabene berprofesi sebagai dosen, peneliti, dan sebagian kecil mahasiswa, menawarkan perspektif yang beragam tentang bagaimana seharusnya MUI berperan dalam mengawal keberagamaan umat. Fatwa-fatwa MUI di bidang akidah dan ibadah, sosial kemasyarakatan dan produk halal, kelembagaan dan metodologi fatwa maupun ekonomi syariah, dikaji dengan sangat serius dan penuh pertanggungjawaban ilmiah.
Menurut Ketua Pelaksana ACFS 2022 KH. Abdurahman Dahlan, ada 113 makalah dari 143 peneliti yang masuk ke call for papers MUI tahun ini, tetapi hanya 50 makalah yang dipilih. Dengan keterbatasan serta kesederhanaan sana-sini, makalah saya merupakan satu dari 50 makalah terpilih. Alhamdulillah. Tetapi yang paling penting, ini semua membuktikan masih adanya perhatian yang cukup besar baik dari para akademisi kita terhadap eksistensi MUI di negeri tercinta ini.
Ajang bergengsi tahunan ini membuka ruang seluas-luasnya bagi para pengkaji isu-isu hukum Islam, utamanya yang menyangkut otoritas keagamaan (MUI). Mereka diberi kebebasan untuk mengkaji fatwa MUI dari sudut pandang mana saja, dengan pendekatan apa saja sepanjang bisa dipertanggungjawabkan status ilmiahnya.
Pembacaan para narasumber terhadap fatwa-fatwa MUI tak jarang berujung pada kritik. Dalam tradisi ilmiah, kritik sah-sah saja selagi itu membangun. Bahkan, sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tak pernah sepi dari kritik oleh satu teori terhadap teori lainnya. Melalui konferensi ini, lembaga bentukan Orde Baru itu sepenuhnya menyadari kekurangan dirinya sehingga dengan sangat bijaksana membuka saran, masukan, bahkan kritik-konstruktif dari para pengkaji.
Sebagai produk pemikiran manusia (baca; ijtihad ulama), fatwa-fatwa MUI memang tak pernah final, apalagi dianggap absolut kebenarannya. Kebenaran fatwa bersifat temporal. Ia akan terus berdialektika dengan dinamika zaman yang bergerak maju secara dinamis. Keputusan fatwa di suatu masa, bisa jadi tidak relevan lagi diberlakukan di suatu masa yang lain. Kehadiran Qaul Jadid atas Qaul Qadim karya Imam Syafi'i adalah salah satu contohnya.
Begitulah fatwa, selalu menuntut adanya pembaharuan setelah berbenturan dengan modernitas. Annual Conference on Fatwa MUI Studies ini jelas bisa didudukkan dalam upaya memenuhi kebutuhan itu. Para ahli agama bekerja sama dengan ahli-ahli di bidang lainnya (sainstis, ahli medis, antropolog, sosiolog, dsb) dalam menentukan peran strategis agar hukum Islam tidak "mandul" di hadapan modernitas.
Secara struktural, kedudukan MUI berada di luar sistem hukum dan struktur pemerintahan. Produk-produk fatwanya pun bersifat legal opinion, bukan legal standing sebagaimana UU yang menimbulkan daya ikat. Fatwa-fatwa MUI hanya bisa mengikat sejauh dikonversi ke dalam hukum positif (positivisasi).Â
Berbeda dengan negara lain, misalnya, Negara Brunei, di mana lembaga fatwanya itu termasuk dalam sistem pemerintahan sehingga keputusan fatwanya sangat mengikat tetapi potensial diintervensi oleh Sultan dalam pengambilan keputusan.
Ke depan, tuntutan agar MUI bersikap lebih aktif, kreatif, dan progresif akan semakin kuat. Modernisasi semakin menggila. Globalisasi-industrialisasi akan terus bergerak maju bahkan bisa melampaui keterbatasan teks (nas).Â