Indonesia terlalu cepat mabuk kemenangan. Di arena olahraga yang menjadi favorit berat warganya : sepakbola. Di Piala AFF 2010. Tetapi ketika impian itu terancam terempas, tidak banyak yang mau berusaha menggali akar penyebab mengapa semua bencana itu terjadi.
Di antara warga Indonesia yang terpanggil untuk membedah tragedi kekalahan timnas Indonesia 3-0 ditekuk Malaysia pada laga leg pertama final Piala AFF, di Bukit Jalil 26 Desember 2010, adalah Chappy Hakim. Ia pensiunan marsekal, pernah menjabat sebagai KSAU, dan kini aktif sebagai blogger Kompasiana yang kemudian karya-karyanya diterbitkan sebagai buku.
Ulasan menarik dia dalam artikel "Belajar Dari Tragedi Bukit Jalil", yang antara lain merujuk semacam excuse dari pelatih timnas, Alfred Riedl, yang berkali-kali mengatakan bahwa timnya itu sebagai tim yang "belum jadi."
Chappy Hakim menulis : "Sejatinya,jawaban dari hal tersebut sudah diutarakan oleh sang pelatih Alfred Riedl dari sejak awal.  Dia berulang kali mengatakan bahwa tim ini sebagai tim yang "belum jadi".   Maknanya adalah, dalam meraih prestasi olahraga, harus diingat bahwa tidak akan pernah sukses itu diraih dengan tiba-tiba.  Sukses dalam olahraga tidak bisa tidak harus dijalani melalui tahapan-tahapan berlapis yang harus dilakoni. Â
Kematangan satu tim sepak bola hanya akan diperoleh dari pengalaman bertanding yang panjang.Kekompakan dalam kerja sama tim hanya akan dapat diraih dari seringnya mereka bermain bersama, tidak hanya latihan, tetapi juga lebih-lebih dalam bertanding.  Â
Tidak hanya bertanding di kandang sendiri, tetapi juga bertanding di kandang lawan.  Tidak hanya satu dua kompetisi yang harus diikuti, tetapi juga harus banyak dan sering mengikutinya.Juara hanya dapat diraih dengan "jam terbang" yang cukup."
Bemper seksi Chappy. Pendapat Chappy Hakim di atas adalah pendapat yang masuk akal. Tetapi nampaknya dia kurang menyadari betapa dunia persepakbolaan Indonesia telah hidup dalam "atmosfir busuk" selama ini. Bukan hanya belitan budaya instan yang hidup di kepala para suporter dan semua pemangku kepentingan dunia sepakbola kita, termasuk melakukan naturalisasi Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim sebagai upaya menelan pil ajaib mendongkrak prestasi, tetapi terdapat "lubang hitam" lainnya yang lebih dahsyat.
Fenomena "lubang hitam" itu sudah sering saya ungkapkan berkali-kali. Tetapi, tidak ada salahnya saya tuliskan lagi,untuk menanggapi buah pemikiran Chappy Hakim tadi. Inilah pendapat saya selengkapnya :
"Bemper" seksi yang dipasang Pak Chappy Hakim (beda dengan milik Jupe) dengan merujuk pendapat Alfred Riedl bahwa timnya adalah tim "yang belum jadi," menarik untuk terus dibincangkan. Namun ijinkanlah saya ingin menambahi, betapa "penyakit" sepakbola Indonesia lebih serius dan lebih kronis. Sering sekali untuk blog saya, saya mengutip ucapan Sekjen Asian Football Confederation (AFC), Peter Velappan, di majalah Asiaweek (5/6/1998) menjelang Piala Dunia 1998.
Ia tegaskan : "Indonesia adalah Brazilnya Asia. Pesepakbola Indonesia bermain dengan intelejensia dan bakat unik yang tidak ada duanya di dunia. Bakat-bakat mereka lebih baik dibanding pemain Korea atau Jepang. Pada era 50 dan 60-an, tim-tim Asia jangan bermimpi mampu menaklukkan tim Asia Tenggara." Tetapi dalam setengah abad terakhir tim-tim Asia Tenggara, termasuk Indonesia hanya bisa memble berat.
Karena menurutnya, "akibat pengelolaan manajemen yang amburadul dan dan tidak bisa membersihkan dirinya dari belitan budaya korupsi." Ada foto Rocky Puitiray lagi melompat (ditulis sebagai Perry Sandria), dengan teks : "Pemain Indonesia banyak yang berbakat, tetapi pengaturan skor meruyak dimana-mana."