Bismillah,
Setiap kita sebagai manusia biasa mempunyai banyak cerita masa lalu. Cerita ini adalah cerita sedih tetapi juga ada kadar gembiranya. Sedih karena tidak dapat beasiswa karena dianggap kaya. Gembira dan syukur karena "didoakan" sebagai orang berada oleh guru. Tulisan ini ditujukan untuk memaparkan kisah mengharukan waktu penulis SMA.
SMAN 1 Manna
Penulis adalah alumni SMAN Â Manna Bengkulu, tepatnya di jalan Duayu Manna. Sekolah ini dikenal dengan SMAN 1 Bengkulu Selatan. Banyak alumni sekolah ini yang sudah menamatkan Universitas dan Sekolah Tinggi di seluruh tanah air. Â
Banyak di antara kami adalah pensiunan praktisi kesehatan, praktisi UMKM, praktisi hukum, praktisi pendidikan dll. Ada yang jadi dosen, kelompok ini masih akan mengabdi sekutar lima atau 10 tahun lagi, terutama mereka yang berjenjang akademik guru besar
 Para alumni SMAN 1 ini sejak lama tersebar di kota-kota Jakarta, Manado, Palembang, Curup, Bengkulu, Manna, Padang, Bengkulu, Bandar Lampung dll.
Cerita sedih vs gembira
Di antara kami para siswa jurusan pasti alam (pas-pal) pada pertengahan tahun 1970-an kebanyakan adalah anak petani dan nelayan. Dari 27 orang kelas 2 paspal ada juga anak hakim, anak pengusaha, anak pedagang dan terbanyak adalah anak petani dan nelayan.
Waktu itu kami ada kelompok belajar. Â Kami belajar di rumah Lisdin Palak Sarak, Manna. Kini Lisdin berada di kota Manado. Di rumah ini kami begadang sampai malam. Bila ingin nonton tv terutama "Dunia Dalam Berita", dari pembaca berita Toety Aditama kala itu. Â
Sisi sedih dari yang penulis alami kala SMA adalah tidak dapatnya beasiswa pada hal kehidupan keluarga kami prihatin. Ayah penulis hanyalah petabi kopi dan kala itu harga kopi jatuh ketitik terendah dalam tahun-tahun penulis menjalani pendidikan di SMA.
Teman penulis yang dapat beasiswa adalah Refni. Saat ini Refni adalah Auditor Sistem Pelayanan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan. Penulis rela dengan Ref, panggilan akraf kami untuknya yang dapat  beasiswa kala itu.