Bismillah,
Muhammad Djalim bin Hamzah adalah pamanku, guruku. Beliau adalah adik almarhum ayahku. Sejak saya kecil pamanku ikut ayah dan ibu di dusun Tanjung Baru. Entah apa alasan mengapa dia ikut ayah yang hidupnya tidak kaya tapi tidak miskin. Tulisan ini mengambil sejumlah pelajaran di balik kebersamaan pamanku dalam keluarga ayah. Penulis memakai gaya saya.
Ayahku di mata paman
Penasaran adalah hal yang biasa bagi saya sebagai keponakan. Saya punya keingintahuan apa alasan paman ikut keluarga ayah. Saya bilang kepada paman, bahwa ayah saya kan orangnya garang dan hidupnya beraahaja, walau tidak miskin betul. Menurut paman, ayah kamu itu hatinya baik, dwmikian juga ibu dan kakek kamu itu. Mendengar penjelasan itu saya jadi lega dan senang.
Saya dan paman berdua saja di rumah. Ayah, ibu dan adik-adik menetap di sawah pada saat musim padi sawah, sementara kakek dan nenek menetap di kebun kopi, sekitar 10 km sebelah utara desa kami kala itu. Sawah keluarga ayah sekitar 2 km di juga di timur laut desa kami.
Bertahun-tahun saya berdua dengan paman Djalin. Beliau adalah guru saya, penjaga saya dan teman canda saya. Jjka ada PR maka pamanlah yang membantu menyelesaikannya.Â
Alhamdulillah saya termasuk murid berprestasi kala itu. Oleh guru kelas 5 di Madrasah Idtidaiyah Muhammadiyah Tanjung Baru atau Lubuk Langkap, saya diminta pindah ke kelas 6. Ini berarti di Madrasah saya hanya 5 tahun. Â Setelah saya sadari itu adalah berkah dari ikutnya paman Djalim di rumah ayah sejak saya kecil.
Paman menikah
Saya tidak begitu memahami kapan dan seperti apa acara akad nikah paman dengan istrinya, bibi saya. Yang saya tahu dia hilang dari rumah kami. Ini berarti saya harus tinggal bersama ayah dan ibu serta adik-adik di sawah. Sawah harus pulang dan pergi sendiri ke sekolah menyeberang sungai berkali-kali. Untuk pulang dan pergi ke sawah kami mesti menyeberang sungai air nipis sebanyak 3 kali.Â
Paman Djalim mengunjungi ayah
Pada zaman baru menikah sampai dia punya anak tiga hingga empat orang, paman Djalim dan istri serta sejumlah anak mengunjungi keluarga ayah di sawah. Paman dan bibi ketika nengunjungi kami di sawah perlu berjalan 3 sampai 4 km. Itu dilakukan dengan berjalan kaki. Anak-anak pamandaada yang djsuruh berjalan, ada yang digendong.Sampai suatu saat paman dan bibi tidak lagi berkunjung karena anak paman mencapai tujuh orang.Â
Saling menguntungkan
Ketika paman ikut keluarga ayah kami merasa beruntung karena paman menjadi penjaga anak-anak ayah yang bersekolah. Adanya paman kami terawasi dan terbimbing sekolah ketika ada PR. Paman juga belajar hidup mandiri dengan jalan membuat kebun sendiri di sebelah kebun keluarga ayah. Paman dari keluarga ibu kebunnya di sebelah kebun ayah, tepatnya di bagian selatan dan timur kebun ayah. Kebun paman Djalim, adik ayah yang perempuan Siti Khadijah serta keponakan ayah Asdin Ganal ada di bagian sebelah utara kebun ayah.
Pondok bertetangga
Kebun kopi kami cukup luas karena dibantu kakek dan nenek. Dalam perjalanan waktu, pondok kebun ayah berada berjejer mendekati sungai. Di tengah ada pondok kebun Ayah, kemudian pondok bibik, pondok paman agak ke utara sedikit, lalu di barisan yang sama pada bagian selatan ada pondok Wanda Wasim, abang ibu saya. Ketika sama-sama di kebun kami sering begadang sambil cerita atau main gaplek.
 Merantau ke kota
Ayah saya ingin sekali anaknya jadi orang. Saya banyak mendapat cerita tentang keutamaan orang yang menuntut ilmu sampai ke perguruan tinggi. Paman saya punya banyak teman dan bahkan temannya satu meja dan satu bangku kala itu sudah jadi dosen. Pamanku Djalim menekuni profesi pedagang kopi dan petani kopi. Di mata keluarga kami, keluarga paman lebih makmur.Â
Tunjuk ajar dan cerita motivasi paman masih punya dampak yang berbekas dalam sikap dan cita-cita saya. Pertemuan dengan paman masih sering terjadi biasanya setiap akhir semester. Bearti 6 bulan sekali kami ketemu biasanya paman meminjam senjata api milik seorang tentara. Paman saya adalah seorang jago tembak. Sangat sering beliau mendapat rusa, minimal dapat kijang.
Sekolah ke LN
Hubungan saya dengan pamanda Djalim terputus tetapi digantikan anaknya Jamas Rahadi yang kala itu masih duduk di Sekolah Menengah. Adi sering berkirim surat dengan saya yang 5 tahun di Inggeris. Kegiatan seperti itu tentu saja memotivasi adik-adik saya, yang merupakan anak-anak paman saya itu. Bangga dapat surat dari LN. Sayangnya setiap datang surar saya dari  negeri Pangeran Charles itu perangkonya sudah diambil orang.Â
Pamanda punya 7 orang anak.
Saya bangga dengan paman saya karena anaknya banyak. Ada 7 orang anak yang sudah menikah dan semua punya anak. Artinya paman saya sudah punya banyak cucu. Terakhir ada cucu paman yang sudah menikah. Pada akhir tahun ini paman saya yang sudah berumur lebih dari 70 tahun itu mengharapkan doa kita semua khususnya penulis agar tetap dikaruniai kesehatan yang prima. Aamin yra.Â
Saya sering memotivasi beliau melalui telepon agar meminta kepada Allah diberangkatkan umroh dengan bibi saya. Alhamdulillah dwngan hanya membantu beliau membelikan paspor beliau berangkat ke tanah suci beberapa tahun lalu berkah gotong royong anak-anak beliau. Saya teringat suatu saat beliau tidak percaya bahwa beliau bisa betangkat umroh. Mengapa saya tanya? Karena penghasilan beliau hanyalah dari nenanam buah naga, jagung, kakao dan padi.
Alhamdulillah, beliau membuktikan sendiri bahwa beliau berangkat umroh suami istri dengan bernodalkan air mata sewaktu solat tahajud.Â
Semoga pamanku selalu sehat. aamiin yram
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H