Bismillah,
Jika kita mau mengidentifikasi orang-orang yang punya peran dalam kemajuan suatu wilayah, suatu desa, suatu negara, maka pasti banyak sekali. Di dusun kecil bernama Lubuk Langkap Air Nipis Bengkulu Selatan ada banyak orang seperti itu. Sebut saja Yuhan, Maulana, Saan, Icang, Iburahim, Juanip, Berohan, Sairin, Sukardi, Tohar, Abdul Jalil, Roni Baid dan banyak lagi. Kali ini saya ingin mengupas peran Sukardi dalam kemajuan Lubuk Langkap.
Siapa Sukardi Ba'ar?
Sukardi Ba'ar kecil adalah pemuda kelahiran desa Bandaragung Masat Bengkulu Selatan. Desa ini beberapa puluh kilometer di sebelah utara kota Manna, ibu kota Bengkulu Selatan. Beliau adalah putra tertua dari Ba'ar yang pindah ke dusun Lubuk Langkap sekitar 70-an tahun yang lalu.
Sukardi kecil setelah tamat sekolah dasar mengambil keterampilan menjahit yang ia ikuti di Manna Bengkulu. Berkat kegigihannya Sukardi memulai usaha sebagai tukang jahit dan penjual kerbau. Sejak perjaka Sukardi sudah terbiasa pergi ke palembang melalui kota Pagar Alam Lahat.
Di dusun Lubuk Langkap dia dikenal luas oleh masyarakat sekitar sebagai tukang jahit. Sukardi boleh dikatakan pada masanya tidak memiliki saingan dalam bisnis menjahit. Selain menjahit Sukardi juga tidak meninggalkan pekerjaan bertani dan berkebun.
Adiknya kuliah di UNSRI
Sekitar tahun 1970 an awal adik Sukardi yang bernama Tohar kuliah di Palembang. Karena itu menjadi alasan beliau untuk rajin ke Palembang sambil membeli bahan dagangan atau membawa kerbau untuk dijual. Karena itu Sukardi dikenal oleh masyarakat dusun Tanjung  baru sebagai pembuka gerbang ke dunia luar. Berkah sifat mengayomi dari seorang Sukardi maka ayah penulis, A Rahim bin Hamzah ikut tercerahkan wawasan dan mimpi-mimpinya.
Ayah penulis membeli sepeda
Melalui jasa baik Sukardi, ayah penulis mempunyai pemahaman dan pengalaman untuk menjejal kota Palembang. Beliau menjalin  hubungan dengan saudara satu puyang, M Kasim namanya. Melaui M. Kasim, ayah penulis banyak tahu dosen di Universitas Sriwijaya.
Berkah jasa Sukardi juga ayah penulis mampu membelikan anak sulungnya sepeda Raleigh buatan Inggeris. Penulis setelah dibelikan sepeda itu merasa senang. Walaupun yang mengendarai sepeda itu masih ayah penulis karena badan penulis masih kecil. Saat sepeda dibelikan penulis berumur 13 tahun alias masih duduk di kelas 1 SMPN 1 Bengkulu Selatan.