Bismillah,
Penulis menangis tersedu-sedu mendengar curhatan seorang guru wanita yang bertahun-tahun menjadi guru honorer. Seorang alumni S1 ditempatkan di daerah terpencil.Â
Dengan gaji Rp 450 ribu per bulan. Dibayar 4 bulan sekali. Dia dan sejumlah teman-temannya memperjuangan nasib para guru honorer yang mengabdi di desa. Tak ada kendaraan. Hanya jalan kaki. Ketika mereka sakit negara tidak tahu. Ketika mereka tak cukup untuk makan negara tidak hadir. Ketika mereka bersedih negara tak hadir.
Penulis pernah alami
Pemulis pernah menjadi guru SPMA, guru SMEA Muhammadiyah, dosen honorer di sejumlah PTS di kota Palembang. Pada masa itu honor kami sangat kecil tetapi tidak ada pilihan. Sisi bersyukurnya adalah penulis punya pengalaman bagaimana menjadi guru honorer dengan gaji kecil. Yang paling penting adalah punya pengalaman berdiri di depan kelas untuk melatih keberanian berbicara di depan orang banyak.
Jika diingat perbandingan gaji guru honorer kala itu dengan harga sembako maka seora g guru honorer kala itu mampu setiap jam berada di depan kelas mampu membeli 4 sampai 5 kg beras per jam. Sementara guru honor saat ini setiap jam berdiri di depan kelas tidak sampai 1 kg beras. Jumlah yang sangat sedikit dan tidak manusiawi sekali.
Banyak ingin
Guru honorer adalah manusia. Mereka ada rasa ada keinginan. Mereka merasakan penderitaan ayah ibu mereka dalam mengantarkan mereka jadi sarjana. Â Punya ayah ibu berlakang petani, pedagang, para guru honor itu merasakan sekali penderutaan ayah ibu mereka. Karena itu tidak salah aluas sangat manusiawi jika para guru ingin membahagiakan ayah ibu mereka.Â
Bertahun-tahun para guru honorer itu berjuang untuk beli bahan makanan, untuk beli pakaian dsb. Yang ternyata jauh dari cukup. Yang lebih miris lagi adalah kenyataan bahwa datangnya jonor mereka 4 bulan sekali.
Isman terpaksa bertani dan berdagang