Bismillah,
Pembentukan daerah otonom mulai pada tingkat provinsi hingga pada tingkat kabupatrn dan kota terjadi pada era awal pemerintahan presiden BJ Habibie. Era ini dikenal dengan era reformasi, yang ditandai juga dengan pembentukan banyak daerah otonom. Otonomi daerah menandai berubah dan perpindahan kewenangan dalam sejumlah urusan pusat kepada daerah otonom. Desentralisasi kesehatan secara pelan tapi pasti mengubah pelaksanaan manajemen pelayanan kesehatan menjadi sistem kesehatan daerah. Tulisan ini mengupas seputar perubahan paradigma pembangunan kesehatan dalam kerangka desentralisasi.
Keterkaitan sejumlah urusan dengan kesehatan
Dengan diundangkannya UU no 32 tahun 2004 maka desentralisasi terjadi sebagai bagian dari otonomi daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah diperkuat dengan PP no 38 tahun 2007. Kesehatan merupakan urusan wajib pemerintah daerah. Urusan pelayanan kesehatan ini melibatkan hampir semua urusan wajib lainnya seperti prkerjaan umum, perumahan, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, tenaga kerja, koperasi dan usaha kecil menengah, penanaman modal, kebudayaan, pemuda dan olah raga, kesbangpol dalam negeri, OTDA, PUM, AKD, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian, ketahanan pangan dan pemberdayaan masyarakat dan desa.Â
Setelah 15 tahun Des-Kes
Penulis memaparkan tulisan dalam ppt oleh Nesti Wisendri (2020) yang berjudul " Sistem prlayanan kesehatan dan kebijakan era otonomi daerah". Pada acara jedah dari pemaparan materi kuliah penulis meminta para mahasiswa untuk memberikan tanggapan tentang materi kuliah yang baru saja ditayangkan.
Mereka menanggapi kenyataan yang dipaparkan dalam kuliah itu bahwa desentralisasi kesehatan tidak memberikan manfaat terhadap angka kematian ibu dan bayi serta penyakit AIDS. Juga pelaksanaan JKN berkemungkinan memperburuk ketidak adilan geografis dalam pelayanan kesehatan. Mengapa? Karena menurut Nesti Wisendri (2020) keseimbangan fasilitas kesehatan dan sumberdaya kesehatan antar daerah otonom tidak berhasil dibenahi selama 15 tahun lebih desentralisasi kesehatan.
Yesi salah seorang mahasiswa asal kabupaten MUBA keberatan dengan pernyatan tersebut sementaran Ari Fauta nakes asal Kabulaten Banyuasin membenarkan pernyaatan pe ukis dalam materi kuliah itu. Saya melihat adanya perbedaan respons antara Yesi dan Ari tersebut karena sejumlah alasan.
Pertama, pernyataan tersebut pas untuk menggambarkan apa yang terjadi secara nasional. Apa yang dialami oleh Yesi, kapus di wilayah perbatasan dengan provinsi Jambi itu, mewakili untuk daerah yang anggaran kesehatannya memadai. Di kabupaten Muba anggaran dinas kesehatan saat ini mendekati angka Rp 1 T. Sebaliknya anggaran dinas kesehatan di kabupaten lain di Sumatera Selatan jauh di bawah anggaran Dinkes di kahuparen Muba tersebut. Demikian juga yang terjadi di kabupaten OKU oleh Susi.