[caption id="attachment_258634" align="aligncenter" width="300" caption="Dokumentasi Pribadi Di Depan Mushola An-Nur"][/caption]
Tulisan ini ditayangkan saat di Mushola sedang bergemuruh takbir diiringi suara merdu beduk langgar. Ds. Merak Kec. Sukamulya Kab. Tangerang (8/8). Jika berada dekat saya, pastinya pinggul Anda, inginnya ikut bergoyang mengiringi alunan beduk. Laksana si Koret dalam film “Mak Ijah Naik Haji”.
Sebuah tradisi kampung kami di saat takbir pasti musik pengiringnya beduk langgar. Keunikan pukulan beduk desa kami, lain dari yang lain. Lagu iramanya menyesuaikan keinginan para penikmat. Bisa didangdutkan, digambang kroncongkan, dijaipong atau bisa juga dibuat seirama musik pengiring wayang golek. Meriah sekali takbir, pokoknya.
Pukulan pakem beduk di kampung kami memang ada, diantaranya, ngatilu (ting tung deng) atau tung teuk disebut pula pong pak. Pukulan ini sudah hampir jarang digunakan mungkin generasi 80-an ke sini sudah jarang yang bisa atau biasa menggunakannya. Sering pula dibarung (diadu) beduk dengan tetangga kampung pasca lebaran idul fitri seminggu full, biasanya. Tetapi, Nuansanya berbeda dengan Beduk Takbir.
Saat tulisan ini diturunkan beduk sedang mengalunkan irama Si Cepot (petruk) sedang joget masuk pekalangan.
Luar biasa antusias masyarakat dari mulai rokok, kopi, nasi bungkus, kue lebaran sampai pisang dibelikan. Sebagai genre musik yang lahir dari tradisi topeng (lenong) di daerah seputaran Balaraja-Tangerang.
[caption id="attachment_258633" align="alignleft" width="300" caption="Dokumentasi Pribadi Di Mushola An-Nur"]
Beduk ini menjadi elan bagi yang sedang bertakbir penyebab melek semalam suntuk.
Pukulan beduk, biasanya setelah bocah dilanjutkan oleh orang dewasa, biasanya di atas pukul 22.00 malam hari. Pukulan beduk semakin malam semakin meriah dan semangat. Jika sudah larut, Instrumen pengiring beduk apa saja dapat dibunyikan, seperti botol bekas sirup, piring tempat kue, atau gelas bekas minum kopi.
Ada juga penabuh ketika ketika larut ini sudah sengaja membawa besi bekas. Persis pagelaran Takbir dengan instrument seadanya. Ensambel apa pun jadi. Suaranya semakin mengalun dengan merdu. Berselingan dengan takbir merdu yang digemakan sang ustadz keselarasannya memberikan nuansa padang pasir bukan, karawitan juga bukan, atau dangdut juga bukan. Nuansa yang religi bercampur dengan tradisi orang-orang kampung yang suka rebanaan, jaipong, golek, gambang kromong, ataupun dangdut.
[caption id="attachment_258635" align="aligncenter" width="300" caption="Dokumentasi Pribadi Di Mushola An-Nur"]
Sehabis sebulan berpuasa mereka melepaskan diri dengan gema takbir dihibur kesenian yang hanya dipertontonkan setahun sekali. Tontonan yang dipertunjukkan dipenghujung bulan Ramadhan. Panjak (nayaganya) bisa siapa saja. Tidak terikat, terlatih, atau dipersiapkan dengan acara gladi resik. Bisa anak ingusan, remaja, dewasa, atau orang tua renta. Mereka cukup terlatih karena alam dan tradisi turun temurun yang tak diaransemen sedemikian rupa dan seketika. Indahnya bertakbir di kampung kami….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H