Mohon tunggu...
Supiyandi
Supiyandi Mohon Tunggu... Freelancer - IG: @supiyandi771

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Money

Neokolonialisme di Balik Revolusi Industri 4.0

22 Oktober 2019   14:07 Diperbarui: 22 Oktober 2019   14:41 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi interkoneksi globalisasi. Sumber: Alfareza

Sekarang kita beralih membahas neokolonialisme. Kata Neokolonialisme pertama kali diperkenalkan oleh Kwame Nkrumah, presiden pertama pasca kemerdekaan Ghana, dan telah didiskusikan oleh banyak sarjana dan filsuf pada abad ke-20, termasuk Jean Paul Sastre dan Noam Chomsky. Neokolonialisme adalah praktik kapitalisme, globalisasi dan pasukan kultural imperialisme untuk mengontrol sebuah negara sebagai pengganti dari kontrol politik atau militer secara langsung. 

Kontrol tersebut bisa berupa ekonomi, budaya atau linguistik, dengan mempromosikan budaya, bahasa atau media di daerah jajahan mereka. Salah satu yang dilakukan adalah melakukan penanaman modal atau medirikan korporasi yang menyebabkan terbukanya pasar baru dari produk mereka dan akan disertai dengan pembudayaan. Dengan demikian, neokolonialisme akan menghasilkan ketertarikan kepada bisnis yang mereka ciptakan dan menghancurkan kultural lama masyarakat yang telam memiliki nilai tersendiri ditengah masyarakat.

Jika tadi neokolonialisme adalah praktik kapitalisme untuk mengontrol suatu negara, maka sepatutnya kita sadar sebagian besar investasi teknologi 4.0 berasal dari luar negeri. Beberapa Negara yang paling banyak melakukan investasi revolusi 4.0 di Indonesia sekarang adalah Tiongkok, AS, Jepang, dan Singapura. 

Dengan argumentasi kita pemilik teknologipun kita masih menjadi kolonial dalam pandangan mereka karena mereka pemilik modalnya dan selalu di bawah kontrol mereka. Dengan mengendalikan sektor industri 4.0 terutama dibidang teknologi informasi maka sangat mungkin promosi terkait budaya, bahasa, atau media mereka atau hal lainnya karena Indonesia sudah menjadi pasar yang mereka kendalikan. Sampai pada akhirnya praktik neokolonialisme membuat alam bawah sadar kita terpengaruh bahwa kita tidak ada masalah dengan praktik tersebut. Mental kita hancur, kita dijajah tanpa kita sadari dan ini adalah bentuk kekalahan perang yang sesungguhnya. Lalu solusinya apa?

Indonesia memiliki potensi memegang peran dan pemain kunci dalam era 4.0. Kita memiliki sumber daya yang besar untuk diberdayakan. Kita duplikat yang dilakukan oleh Tiongkok, Jepang, Amerika, dan Kore Selatan. Kita belajar ke Negara maju, ambil ilmunya dan terapkan di Negara kita. Kita duplikat teknologi mereka dari hasil belajar tadi kemudian kita ciptakan versi kita sendiri. Kita produksi secara masal dan harus diproteksi oleh pemerintah. 

Apa yang dilakukan Tiongkok terhadap Google, Whatsapp, Facebook, dan Instagram harusnya menyadari Indonesia akan pentingnya langkah tersebut. Tiongkok memproteksi Alibaba, Kaskus, WeChat, dan lainnya sampai berhasil menguasai 80% lebih pasar lokal baru mereka boleh masuk. Seharunya itu yang dilakukan oleh Indonesia. Tidak boleh takut terhadap resioko, sejatinya resiko memang harus diambil demi sebuah kejayaan dimasa depan. Pada akhirnya revolusi 4.0 tidak bisa kita hndari. Sekarang yang harus kita lakukan adalah mengkolaborasi dan menciptakan strategi agar tidak terjebak dalam lingkaran setan neokolonialisme 4.0

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun