Mohon tunggu...
SUPIANTO UCUP
SUPIANTO UCUP Mohon Tunggu... -

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Kemiskinan di Indonesia (Tinjauan Kritis Berdasarkan Teori Institusi Politik-Ekonomi)

3 Juni 2014   01:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A.Teori Kemiskinan

Kemiskinan masih menjadi momok bagi sebagian besar negara-negara di dunia. Meskipun berbagai penelitian sudah dilakukan, berbagai upaya juga sudah diambil sebagai tindakan untuk mengentaskan kemiskinan, namun kemiskinan belum juga punah. Konsep kemiskinan muncul sebagai antitesis dari kesejahteraan. Dimaa di satu sisi ada kelompok masyarakat yang sejahtera, dan di sisi lain ada kelomok masyarakat yang tidak mampu mengakses dan menikmati apa yang dinikmati oleh kelompok pertama, di sinilah konsep kemiskinan muncul. Sebenarnya tidak mudah mendefinisikan kemiskinan, karena kemiskinan adalah sesuatu yang multidimensional. Tapi sebagian besar para ahli mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti pangan, sandang, dan papan.

Secara garis besar, teori mengenai penyebab terjadinya kemiskinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi akibat budaya dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat yang menyebabkan mereka miskin. Nilai-nilai itu bisa bersumber dari ajaran agama dengan ketabahan dan kepasrahan pada takdir, bisa juga bersumber dari sikap individu yang malas untuk bekerja karena tidak ada motivasi eksternal maupun internal.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur yang berlaku dalam masyarakat. Struktur itu bisa berupa aturan yang disepakati secara bersama atau juga bisa aturan yang dipaksakan untuk ditaati. Dalam pengertian ini kemiskinan struktural dapat juga dipahami sebagai kemiskinan yang terjadi akibat adanya upaya dari pemerintah atau pihak yang berkuasa untuk memiskinkan masyarakat.

Tulisan ini lebih berfokus pada kemiskinan struktural, teori yang melandasi tulisan ini adalah teori yang dikemukakan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Kedua tokoh ini mengajukan suatu teori yang disebut sebagai teori Institusi Politik-Ekonomi. Acemoglu adalah seorang professor dalam bidang ilmu ekonomi dan mengajar di MIT (Massachusetts Institute of Technology), sedangkan Robinson adalah seorang professor dalam bidang ilmu pemerintahan Harvard University dan pakar politik ekonomi.

Menurut teori ini, kemiskinan terjadi karena institusi politik-ekonomi. Institusi politik-ekonomi ekstraktif, yaitu suatu sistem yang hanya memberikan ruang dan kesempatan kepada sebagian kecil orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan yang menikmati akses politik dan ekonomi, akan mengakibatkan rakyat miskin. Sementara institusi politik-ekonomi inklusif, yaitu suatu sistem dimana setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengakses sumber-sumber politik dan ekonomi, akan menyebabkan masyarakatnya hidup makmur.

Teori ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terjadi akibat kondisi geografis, budaya, dan kebodohan. Perbandingan antara kehidupan masyarakat yang tinggal di Korea Utara dan Korea Selatan, dan juga masyarakat yang tinggal di kota Nogales Arizona (Amerika Serikat) dan Nogales Sorona (Meksiko) menjadi contoh yang sangat menarik untuk mematahkan pendapat-pendapat tersebut, sekaligus menguatkan teori ini.

Korea Utara dan Korea Selatan adalah dua negara yang secara geografis berada dalam satu kawasan di semenanjung Korea. Masyarakat yang hidup di kedua negara ini berasal dari suku, ras, adat, dan agama yang sama, budaya dan bahasa mereka pun sama. Tetapi kehidupan rakyat di kedua negara ini menunjukan ada jurang perbedaan yang begitu kentara. Rakyat Korea Utara hidup dalam kemiskinan akut, sementara rakyat di Korea Selatan menikmati kesejahteraan. Rakyat Korea Utara tidak bisa menikmati fasilitas-fasilitas seperti listrik, air bersih, internet, dan kebebasan untuk berpendapat. Mereka hidup dalam represi pemerintah diktator, tidak memiliki akses terhadap politik dan ekonomi yang hanya dinikmati oleh segelintir kaum elit yang dekat dengan penguasa. Sementara rakyat di Korea Selatan hidup dengan fasilitas yang serba ada, kebabasan mereka dijamin oleh pemerintah, mereka juga terlibat secara aktif dalam politik dan ekonomi, serta memiliki angka harapan hidup sepuluh tahun lebih lama dibanding rakyat di Korea Utara.

Lalu apa yang menyebabkan dua Korea ini begitu beda, padahal keduanya begitu dekat? Penyebabnya tidak lain adalah institusi politik-ekonomi di kedua negara tersebut. Kesimpulan ini tidak dapat diambil begitu saja tanpa melihat akar sejarah politik kedua negara. Sebagaimana diketahui bahwa setelah perang dunia kedua, Korea Utara diambil alih oleh Uni Soviet dan menerapkan sistem komunis yang represif. Sementara Korea Selatan diambil alih oleh Amerika Serikat dan memperkenalkan rakyat Korea Selatan kepada sistem demokrasi yang menjamin kebebasan setiap individu untuk terlibar secara aktif dalam politik maupun aktivitas perekonomian. Inilah letak perbedaan kedua negara itu. Korea Utara tumbuh menjadi negara termiskin di dunia, sedangkan Korea Selatan tumbuh menjadi salah satu negara maju di dunia.

Bagaimana dengan kemiskinan yang terjadi di Indonesia? Jika dilihat dari kaca mata teori Acemoglu dan Robinson, maka dapat dikatakan bahwa kemiskinan yang terjadi di Indonesia juga disebakan karena institusi politik-ekonomi yang berlaku di Indonesia. Selama ini, para penguasa menerapkan sistem politik-ekonomi ektraktif, dimana hanya sebagian kecil orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan yang memiliki akses terhadap politik dan menggunakannya untuk menguasai ekonomi, sehingga hanya mereka yang menikmati kekayaan dan kesejahteraan, semntara rakyat kebanyakan hidup dalam kemiskinan. Namun untuk mencapai kesimpulan ini, terlebih dahulu harus kita lihat aspek sejarah bagaimana perkembangan sistem politik-ekonomi Indonesia dari masa ke masa.

B.Jejak Kemiskinan Di Indonesia

1.Institusi Politik-Ekonomi pada masa Kerajaan Hindu-Budha

Pada masa kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, ada simbiosis mutualisme antara institusi agama dengan institusi politik untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Simbiosis ini tampak dari ajaran agama Hindu yang mengenal adanya sistem kasta. Sistem kasta memungkinkan kasta ksatria untuk terus memelihara eksistensi kekuasaan mereka, dan institusi agama melalui kasta brahmana menjamin eksistensi tersebut dengan cara melakukan reproduksi budaya melalui pengajaran agama. Sebagai insentif atas upaya reproduksi budaya oleh kasta brahmana tersebut, mereka biasanya mendapatkan posisi yang tinggi, baik dalam politik maupun dalam ekonomi. Dalam bidang politik, kaum brahmana selalu menjadi penasehat para raja, tentunya posisi demikian memiliki peran sentral dalam menentukan peta percaturan politik kerajaan. Dalam bidang ekonomi, kaum brahmana selalu diuntungkan melalui berbagai upacara keagamaan yang menuntut pengorbanan hewan seperti sapi dalam jumlah yang besar, dan itu dipersembahkan kepada para brahmana. Sebagai contoh, di dalam prasasti yupa disebutkan bahwa pada sekitar abad ke-4 masehi raja Mulawarman telah menghadiahkan 1000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Hal ini jelas memberikan suatu keuntungan besar bagi kaum brahmana, mengingat pada masa itu jangankan memiliki 1000 ekor sapi, satu ekor saja sudah begitu berharga buat rakyat jelata.

Selain itu, di dalam ajaran agama Hindu, kasta merupakan bawaan sejak lahir, sehingga seseorang yang terlahir dari kasta rendah tidak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan perubahan status dengan cara apapun. Dengan demikian, kekuasaan politik tidak akan pernah berpindah tangan selain kepada keluarga bangsawan atau kaum ksatria. Sistem politik yang demikian juga selalu menimbulkan terjadinya pemberontakan dan perang saudara, hal ini terjadi karena hanya keturunan raja dari istri pertama yang berhak atas tahta, dan hanya perang saudara yang bisa merubah tradisi itu. Sebagai contoh, perebutan kekuasaan di kerajaan Mataram Kuno yang dilakukan oleh keturunan dari dinasti Sanjaya dan dinasti Syailendra, keturunan Ken Arok (Singasari), dan Raden Wijaya (Majapahit), setiap suksesi selalu diwarnai oleh pemberontakan dan perang saudara.

Kondisi politik yang tidak stabil dan upaya para penguasa untuk menarik upeti dari rakyat sebesar-besarnya untuk kemakmuran penguasa dan keluarga kerjaan menjadi sebab kekacauan ekonomi. Rakyat tidak pernah hidup tenang, aset-aset yang mereka miliki suatu ketika bisa dirampas oleh penguasa baru. Kondisi yang demikian ini sama sekali tidak menguntungkan bagi rakyat. Tidak ada sedikitpun insentif yang dapat mereka peroleh dari apa yang mereka lakukan, juga tidak ada jaminan dari penguasa untuk melindungi hak-hak mereka dari kekacauan-kekacauan yang terkadang dibuat sendiri oleh penguasa. Sehingga rakyat bersikap apatis dan memilih tabah untuk menerima nasib dalam kemiskinan di bawah ilusi janji agama yg diajarkan kaum brahmana.

2.Institusi Politik-Ekonomi pada masa Kerajaan Islam

Meskipun secara substansi ajaran agama Hindu dan Islam sangat berbeda, tapi kedatangan Islam tidak memberikan perubahan apapun terhadap nasib rakyat. Islam memang tidak mengenal adanya sistem kasta, tapi dalam prakteknya, hanya keturunan raja (ksatria) yang memiliki peluang untuk dinobatkan sebagai raja. Hal ini tampak dari pemilihan Raden Patah sebagai raja dari kerjaan Demak. Pengangkatan ini tidak lepas dari garis darah Raden Patah sebagai putera dari Brawijaya V (Raja terakhir Majapahit).

Pada masa Islam, raja selain sebagai pemegang kekuasaan politik, juga pemegang kendali roda perekonomian. Raja memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan dengan siapa daerahnya boleh atau tidak melakukan transaksi perdagangan. Biasanya raja juga sekaligus sebagai pedagang yang membeli hasil-hasil bumi dari rakyat (tentunya dengan harga yang sangat murah) dan menjualnya kepada para pedagang asing. Hal ini dilakukan oleh raja-raja kerjaan Islam di Maluku, Sulawesi, Malaka, dan Jawa. Mereka melakukan transaksi jual beli dengan pedagang-pedagang Cina dan Eropa. Peperangan yang sering terjadi antara raja-raja dari kerajaan Islam dengan bangsa Portugis, Spanyo, dan Belanda, sebenarnya tidak lebih dari sekedar peperangan untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi.

Sekali lagi, rakyat tidak memiliki akses untuk secara aktif terlibat dalam kancah politik maupun ekonomi. Kekuasaan politik hanya dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki garis keturunan keluarga raja. Begitu juga dalam bidang ekonomi, hanya para penguasa dan segelintir orang-orang dekat penguasa yang memiliki akses tidak terbatas untuk melakukan transaksi perdagangan dengan dunia luar.

Selain melakukan penguasaan pada institusi politik dan ekonomi, para penguasa juga melakukan hegemoni pemikiran terhadap rakyat. Untuk menjamin eksistensi kekuasaan para penguasa, secara intens mereka membuat rakyat percaya pada kultus pribadi mereka, dan secara tidak sadar rakyat pun pada akhirnya percaya tanpa pernah menanyakan kebenaran dari kultus tersebut. Kultus itu bisa berupa kesaktian para raja, pulung, raja sebagai heru cakra atau sang mesias, ratu adil, dll. Kepercayan-kepercayaan semacam ini menjadi dogma yang mengkungkung logika rakyat dalam ilusi dan janji suci sang ratu adil. Sehingga rakyat tetap berada dalam kemiskinan dan ketabahan menerima represi penguasa tanpa ada perlawanan sedikitpun.

3.Institusi Politik-Ekonomi pada masa Kolonial

Kondisi politik-ekonomi ekstraktif yang diterapkan oleh penguasa pribumi dimanfaatkan oleh bangsa penjajah yang mulai berdatangan ke nusantara pada abad ke-16. Pada awalnya bangsa Eropa datang untuk melakukan perdagangan. Mereka menjual produk-produk yang kemudian ditukarkan dengan hasil bumi nusantara, terutama rempah-rempah sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi bila dijual di Eropa. Hubungan dagang ini terjalin antara penguasa pribumi dan bangsa asing. Rakyat biasa tidak memiliki akses untuk secara langsung melakukan transaksi perdagangan dengan bangsa Eropa. Rakyat hanya boleh menjual hasil bumi mereka kepada para penguasa. Kondisi ini dimanfaatkan oleh bangsa asing untuk melakukan devide et empera (politik adu domba). Untuk memperoleh barang dengan harga yang lebih murah, para pedagang asing menghubungi para penguasa bawahan raja (setingkat bupati) dan menawarkan mereka harga yang sedikit lebih tinggi dari harga yang diberikan oleh raja. Terjadilah “hubungan terlarang”antara penguasa bawahan dengan pedagang asing. Akibatya, raja menganggap hal ini sebagai bentuk pembangkangan. Peperangan tidak mungkin bisa dielakkan, dan pemenangnya sudah dapat ditebak, bahwa pihak yang mendapat dukungan dari bangsa asing yang selalu menang. Kemenangan tersebut tidak merubah keadaan, yang menguasai sumber politik dan ekonomi tetap para penguasa yang kini jadi “boneka”.

Kemiskinan rakyat semakin parah ketika raja-raja nusantara (terutama di Jawa) menyerahkan daerah kekuasaan mereka secara langsung kepada Belanda. Awalnya, dalam hubungan dagang, Belanda selalu mengiming-imingi para raja dengan hutang, ketika raja-raja tersebut tidak mampu membayar hutang, mereka kemudian menyerahkan wilayah kekuasaan mereka kepada Belanda. Bukan hanya wilayahnya saja, tetapi juga rakyat yang hidup di wilayah tersebut menjadi milik Belanda. Sebagai contoh, perjanjian dagang antara Belanda dengan raja Mataram selalu menempatkan raja Mataram sebagai pihak yang kalah dan dirugikan, akibatnya melalui perjanjian Giyanti, kerajaan Mataram kemudian dipecah menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunan Surakarta. Tidak berhenti sampai di situ, hutang-hutang raja yang tidak mampu mereka bayar kemudian diganti dengan penyerahan seluruh pesisir utara pulau jawa ke tangan Belanda.

Pada tahun 1830, pemerintah kolonial Belanda menerapkan cultuurstelsel (sistem tanam paksa). Melalui sistem ini, pemerintah kolonial memaksa rakyat untuk hanya menanam tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan laku di pasaran eropa, seperti: cengkeh, tebu, kopi, dan nila. Sementara tanaman-tanaman yang selama ini menajdi sumber penghidupan rakyat seperti padi dan tebu terpaksa harus dikurangi. Rakyat juga diharuskan untuk menyerahkan hasil tanaman mereka kepada penguasa kolonial. Akibatnya, kondisi rakyat benar-benar sangat memprihatinkan.

Selain di bidang politik dan ekonomi, kebijakan ekstraktif juga diterapkan dalam bidang pendidikan. Melalui politik balas budi, pemerintah kolonial memang membangun sekolah untuk pribumi, namun yang boleh mengakses pendidikan hanyalah kalangan bangsawan dan penguasa pribumi, semntara rakyat jelata tidak memiliki akses yang sama. Pendirian sekolah ini pun sebenarnya hanya untuk kepentingan ekonomi pemerintah kolonial, yaitu mereka membutuhkan tenaga-tenaga terampil untuk dijadikan juru tulis di perkebunan-perkebunan tebu, kopi, perusahaan kereta api, dll. Kebijakan ini semakin memperjelas sistem ekstraktif yang dianut oleh penguasa.

4.Institusi politik-ekonomi pada masa kemerdekaan

Pada awal-awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sedang mencari bentuk sistem politik yang benar-benar sesuai dengan karakteristik bangsa. Namun, bukannya mendapat bentuk sistem politik-ekonomi yang sesuai, Indonesia malah terjebak dalam perang ideologi antar golongan yang saling mengagungkan ideologinya masing-masing. Perang ideologi ini tidak jarang berujung pada pemberontakan. Beberapa pemberontakan terjadi di awal kemerdekaan yang awalnya karena perbedaan ideologi antara pemerintah pusat dengan pemberontak, sebagai misal pemberontakan PKI Madiun 1948, pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo, pemberontakan PRRI/Permesta. Secara langsung pemberontakan-pemberontakan tersebut sangat mengganggu stabilitas politik-ekonomi Indonesia yang masih mencari bentuknya, karena di sisi lain pemerintah Indonesia juga sedang menghadapi kedatangan tentara sekutu yang ingin mengambil kembali kekuasaan setelah berakhirnya perang dunia kedua.

Arah politik Indonesia mulai tampak pada tahun 1959, ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menegaskan untuk kembali ke UUD 1945 dan menerapkan sistem politik Demokrasi Terpimpin. Tidak lama setelah itu Soekarno dinobatkan sebagai presiden seumur hidup. Dekrit ini sebenarnya sebagai bentuk dari upaya Soekarno untuk melanjutkan sistem politik yang telah diwariskan oleh pemerintahan pada masa Hindu dan Islam, yaitu sistem politik-ekonomi ekstraktif. Hal ini juga terbukti dengan pengkultusan diri Soekarno sebagai sang ratu adil dan memiliki kesaktian-kesaktian yang sulit untuk diterima oleh akal sehat. Tragisnya, sampai saat ini pengkultusan Soekarno masih dipelihara oleh politikus trah Soekarno untuk tetap menjamin eksistensi kiprah mereka dalam percaturan politik Indonesia. Pada masa ini, rakyat hidup dalam kemiskinan dan hanya dibuai oleh janji-janji politik Soekarno yang dikemas dalam bahasa retorika pidato yang memukau.

Pada tahun 1965, kondisi ekonomi Indonesia benar-benar terpuruk, diperparah oleh peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal, kondisi politik kacau, dan berakhir dengan jatuhnya Soekarno dari tampuk kekuasaan. Dimulailah era baru yang dikenal dengan Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Dalam pemerintahannya, Soeharto memang lebih menekankan pada stabilitas politik dan ekonomi. Untuk menciptakan stabilitas politik, Soeharto melakukan tindakan represif kepada siapapun yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah. Kemajuan dalam bidang ekonomi memang harus diakui. Namun, pada akhirnya rezim Soeharto berubah menjadi rezim yang ekstraktif. Kroni-kroni Soeharto menikmati akses politik yang tidak terbatas. Mereka menggunakan kekuasaan politik untuk sekaligus mengusai sumber perekonomian, KKN merajalela. Rakyat tidak memiliki kebebasan dalam berpolitik, kesenjangan ekonomi sangat tinggi. Puncaknya arus Reformasi tidak bisa dibendung, berujung pada pelengseran Soeharto.

Reformasi seharusnya dijadikan momentum untuk melakukan perubahan. Setelah 16 tahun, reformasi hanya masih sekedar uforio kebebasan yang kebablasan. Dalam bidang politik memang begitu terasa perubahan, bahwa setiap warga negara kini dijamin kebebasannya dalam berpolitik dan terlibat secara aktif serta bisa mengakses sumber-sumber politik tanpa batas. Tapi dalam bidang perekonomian, sumber-sumber ekonomi masih saja dikuasai oleh mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Buktinya, beberapa kasus korupsi yang melibatkan politikus selalu saja berkaitan dengan para petinggi di sebuah perusahaan tertentu. Korupsi-korupsi yang mereka lakukan sebagian besar untuk memuluskan jalan para pengusaha untuk memenangkan tender.

Harus diakui, bahwa dewasa ini, arah politik-ekonomi Indonesia sudah menglami kemajuan ke arah yang benar-benar demokratis. Jika kondisi semacam ini tetap terjaga, dimana rakyat memiliki akses politik dan ekonomi yang tidak terbatas dan hak-hak mereka juga dijamin, maka bukan hal mustahil suatu saat nanti Indonesia akan menjadi salah satu dari negara maju seperti Korea Selatan.

Pemaparan di atas mengenai jejak kemiskinan di Indonesia, mulai dari masa kerajaan Hindu-Budha sampai pada masa sekarang ini, menunjukan ada kesamaan pola. Kesamaan pola ini terlihat dari sistem politik-ekonomi yang diterapkan penguasa pada masing-masing periode, yaitu sistem politik-ekonomi ekstraktif. Dalam setiap periode dapat dilihat bahwa hanya kelompok-kelompok tertentu saja yang memiliki akses tidak terbatas untuk terlibat aktif dalam politik dan ekonomi, mereka adalah orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan. Sementara rakyat hanya sekedar menjadi penonton dan sesekali menjadi korban dari ambisi para penguasa. Tidak ada kebebasan berpolitik bagi rakyat, tidak ada jaminan keamanan atas kepemilikan aset, tidak ada insentif dari upaya yang mereka lakukan. Kondisi seperti ini sangat berkontribusi untuk menciptakan masyarakat selalu dalam kemiskinan.

Sistem politik Indonesia mulai sedikit berubah setelah kemerdekaan. Meskipun Orde Baru masih melanggengkan tradisi institusi politik-ekonomi ekstraktif, namun Reformasi telah memberikan peluang yang tidak terbatas kepada setiap warga negara untuk terlibat secara aktif dalam politik dan mengakses sumber-sumber ekonomi. Ini berarti sistem politik-ekonomi di Indonesia telah berangsur-angsur menuju sistem yang lebih inklusif. Dampaknya, tingkat kesejahteraan rakyat semakin bertambah dan kemiskinan semakin berkurang. Sejauh ini, memang berbagai bentuk nepotisme, mulai dari pembagian jabatan, pemenangan tender, dll, masih mewarnai demokrasi di Indonesia, tapi secara umum telah menuju ke arah yang lebih baik. Apakah sistem yang berlaku di Indonesia masih akan terus konsisten menjamin kebebasan individu untuk terlibat secara aktif dalam politik-ekonomi, jawabannya tergantung para pemegang tampuk kekuasaan berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun