Mohon tunggu...
SUPIANTO UCUP
SUPIANTO UCUP Mohon Tunggu... -

Guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo Atau Jokowi: Indonesia Will Never Change!

29 Juni 2014   11:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:19 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu tema kampanye yang tidak pernah usang untuk diusung setiap capres adalah perubahan. Kata perubahan memang selalu menarik untuk dibicarakan (baca: dikampanyekan), ketika sebagian besar masyarakat telah mencapai titik jenuh dengan kondisi yang sudah berlangsung lama. Tidak sedikit calon pemimpin yang selalu mengusung konsep perubahan ini. Mulai dari Barack Obama sampai kepada calon-calon kepala desa. Hanya ada satu calon yang tidak akan pernah mengusung konsep perubahan: incumbent. SBY pada tahun 2004 mengusung konsep perubahan, tetapi pada tahun 2009 konsep ini berubah menjadi “lanjutkan”. Demikian juga dengan Obama, pada tahun 2008 dia mengkampanyekan “change” atau perubahan, namun pada 2012 yang lalu konsep ini tidak lagi diusung. Tentu kita paham mengapa setiap calon incumbent tidak pernah lagi mengusung konsep perubahan, karena perubahan bagi incumbent juga berarti lengser.

Lalu bagaimana dengan kedua calon presiden yang akan bertarung dalam kontes pilpres pada pemilu 9 Juli mendatang? Baik Prabowo maupun Jokowi, keduanya sama-sama mengusung konsep perubahan. Prabowo dengan ekonomi kerakyatan, dan Jokowi dengan revolusi mental (?). Ada satu pertanyaan menarik yang dilontarkan oleh salah satu capres pada debat capres minggu lalu. Pertanyaan ini disampaikan oleh Jokowi kepada Prabowo. Jokowi menanyakan tentang konsep perubahan yang selama ini diusung oleh Prabowo, “perubahan seperti apa yang ingin dilakukan oleh pak prabowo?” tanya jokowi. Jawaban yang diberikan oleh Prabowo sangat normatif, “tentunya sesuatu yang sudah baik tidak perlu dirubah, dan yang kurang baik itulah yang harus diperbaiki” jawab Prabowo. Jika kita lihat jawaban ini dari kaca mata teknologi, dimana dalam tekonologi sebuah inovasi akan selalu terjadi manakala ada ketidakpuasan terhadap teknologi yang sebenarnya telah dianggap baik, lalu dilakukan lah penelitian dan pengembangan sehingga dihasilkan inovasi-inovasi terbaru. Konsep perubahan dalam kehidupan bernegara sebenarnya tidak jauh-jauh dari itu.

Demikian juga dengan Jokowi, di setiap kesempatan debat yang digelar, selalu saja yang menjadi andalannya adalah berbagai program yang telah ia laksanakan sejak menjadi wali kota Solo sampai menjadi gubernur DKI Jakarta. Pragmatisme begitu kental di sini. Sebutlah program KJS (Kartu Jakarta Sehat) yang oleh banyak kalangan dianggap amburadul dalam pelaksanaannya. Program KJS ini menjadi program andalan Jokowi sejak kampanye pilgub sampai kampanye pilpres yang nanti namanya akan dirubah menjadi KIS (Kartu Indonesia Sehat). KIS ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan BPJS yang telah dilauncing oleh pemerintah beberapa bulan yang lalu. Jika demikian, lalu apanya yang berubah? Tidak ada.

Lalu, apa sebenarnya yang harus dirubah agar perubahan itu bukan sekedar retorika untuk membumbui pidato saat kampanye?

Masalah utama yang dihadapi bangsa ini adalah kesenjangan sosial (baca: kemiskinan) yang telah membuat jurang perbedaan yang begitu dalam antara si kaya dan si miskin, antara Indonesia dengan negera tetantangga (malaysia), dan antara Indonesia dengan negara maju seperti Amerika. Mengapa? Bukankah kita memiliki kekayaan alam yang begitu besar jika dibandingkan dengan Amerika dan Malaysia? Tapi mengapa bangsa kita begitu jauh tertinggal dengan bangsa-bangsa itu? Acemoglu dan Robinson mengulas masalah ini dalam buku mereka berjudul “Mengapa Negara Gagal?”. Dalam buku ini, kedua penulis membuat sebuah hipotesis mengenai sebab-sebab kemakmuran dan kemiskinan sebuah negara.

Menurut Acemoglu dan Robinson, kemakmurn dan kemiskinan sebuah negara ditentukan oleh institusi politik-ekonomi yang diterapkan negara itu. Negara dengan institusi politik-ekonomi ekstraktif, yaitu suatu sistem yang hanya memberikan kesempatan dan peluang kepada segelintir orang elit atau mereka yang memiliki kedekatan dengan kelomopok elit tersebut, negara tersebut cenderung miskin. Sementara negara yang menerapkan institusi politik-ekonomi inklusif, yaitu suatu sistem yang memberikan kebebasan dan peluang kepada setiap warga negara untuk terlibat secara aktif mengakses sumber-sumber politik dan ekonomi, negara itu cenderung makmur.

Bagaimana dengan institusi politik-ekonomi yang diterapkan di Indonesia? Secara tertulis, negara kita sebenarnya menganut sistem politik-ekonomi inklusif, tetapi dalam prakteknya lebih bersifat ekstraktif. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai kegiatan ekonomi dan sumber-sumber ekonomi yang hanya dapat diakses oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan politikus, untuk apa? tentunya untuk memenangkan tender sebuah proyek yang biasanya diputuskan oleh para politikus. Di sinilah praktek money politik begitu kental.

Apa hubungannya dengan kedua capres? Baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama telah membuat statement jika terpilih akan membentuk zaken kabinet, tetapi kita juga harus jeli melihat siapa saja yang berada di belakang kedua capres ini. Di belakang Prabowo ada Hasyim, adik kandung prabowo dan pengusaha-pengusaha papan atas seperti Hary Tanoe dan Aburizal Bakrie. Di belakang Jokowi ada Surya Paloh dan konglomerat-konglomerat Cina. Jadi, siapapun yang duduk di kabinet, entah itu dari para profesional terlebih dari partai politik, pada hakikatnya pengusaha-pengusaha yang berada di belakang kedua capres inilah nanti yang akan menentukan arah kebijakan ekonomi negara kita. Mereka juga yang nantinya akan memiliki akses tak terbatas pada sumber-sumber ekonomi negara kita.

Demikianlah tulisan singkat ini. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengecilkan hati para pendukung dari kedua belah pihak, tetapi mencoba untuk memberikan sedikit gambaran mengenai arah kebijakan politik dan ekonomi kita ke depannya, sehingga kita tidak mudah terlena oleh janji-janji perubahan yang diusung oleh kedua capres. Tentunya sikap optimis harus tetap kita pertahankan, sembari berdo’a agar kita diberikan pemimpin yang amanah, amin ya rabb...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun