Memulai dengan mengutip pidato Pendiri Bangsa Bung Karno saat penerimaan gelar Doktor Honoris Causa Ilmu Hukum di Balai Senat UGM tanggal 19 September 1951:
"Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia,atau praktek hidupnya bangsa, atau praktek hidupnya kemanusiaan. Itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan ilmu dengan amal; menghubungkan pengetahun dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan dan perbuatan di pimpin oleh pengetahuan.Â
Bahwa pengetahuan, bahwa ilmu, bahwa kennis, bahwa wetenschap, bahwa teori adalah tiada guna, tiada wujud, doellos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya hidup. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal".
Ungkapan Bung Karno di atas bisa menjadi rujukan generasi intelektual selanjutanya. Perjuangan aktivis yang dibalut dengan intelektulitas pada fase kolonial berhasil menggerakan semua elemen bangsa untuk berkontribusi pada kemerdekaan dan kemanusiaan.
Jika kita membuka labirin sejarah bangsa, terdapat pola perjuangan kaum intelektual dalam mempertahankan hidup dan fikirannya.
Fase kolonial dan awal kemerdekaan, kaum intelektual bergerak untuk merebut kemerdekaan dengan berhadapan langsung dengan penguasa (kolonial), para ahli menyebutnya dengan perpaduan aktivis-intelektual.Â
Tidak jarang kaum intelektual yang memilih berkonfrontasi dengan kekuasan berakhir di pembuangan. Kegigihan kaum intelektual di masa ini melahirkan dasar-dasar bernegara, yang menjadi pijakan dalam perumusaan kebijakan hingga saat ini.
Fase orde baru, tuntutan kekuasaan menjerumuskan kaum intelektual sebagai instrumentalis. Kekuasaan memiliki kepentingan untuk mempengaruhi, bahkan mendikte agenda - agenda ilmu pengetahuan.Â
Hal ini menyebabkan suburnya ilmu  pengetahuan yang ateoritis, tidak perduli dengan pengembangan teori sebagai bagian dari tanggung jawab intelektual dalam memproduksi pengetahuan.
Fase ini mengingtkan pada ungkapan Gramsci pada tahun 1971, Gramsci membedakan intelektual dalam dua kelompok yaitu intelektual tradisional dan organik.
Intelektual tradisional bertindak sebagai antek penguasa, sehingga karakter pokok intelektual yang berfikir bebas tidak mendapat ruang yang memadai.