Mohon tunggu...
Petrus Bima
Petrus Bima Mohon Tunggu... Teknisi - Ordinary Personal

Memelihara aksara

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Tentang Embun dan Rumah Ibadah

8 April 2015   20:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:22 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku adalah bagian dari banyak jawaban salah yang sempat kau lingkari. MUNGKIN!

Embun, baru tiga detik berhembus sgala remeh-temeh kisah duka mengeringkanmu.

kenapa indahmu hanya dipagi saja, tanda permulaian seguntal harapan. Baru tiga langkah aku pijakkan dengan maksud menciptakan bahagiaku sendiri, tapi malah 'kehilangan' yg memukul mundur seribu langkah.

Bibirmu seperti telinga sapi sudah masak, kenyal.

Usapan tanganmu, seperti air tumpah diatas papan, sebagian basah tapi sejuknya  merata.

Tindak tandukmu memaksaku memohon Yang Maha tuk menyisakan satu lagi dalam kemasan satu rumah ibadah.

Tidak tahukah kau ketika kau mengangkat tasbih tinggi-tinggi, disini aku mengalungkan salib dengan kesungguhan hati.

"Jangan kecewakan ayah nak, kamu sudah besar, tau mana yang salah, boleh dengan yang lain agama, asal jangan diseriusi."

Tiba-tiba takdir dari arah barat menggelegar, menyalakan guntur sperti tanda memaksa.

Embun melebur terbawa beban air hujan, yang tersisa hanya kenangan suka maupun duka yang senantiasa kita gerakkan bersama, dulunya.

Aku dan dia adalah embun, penyejuk pagi, syukur-syukur kalau bisa sampai siang apalagi sampai senja datang. Kelak, ketika gigi kita mulai menguning, aku akan datang lagi untuk menjenguk, apakah embun yang dulu kita elu-elukan sudah ada di selokan, atau bahkan di rak gudang paling pojok.

........................

Kelembaban, siapa kuasa melengkapi hati corat marut, ketika kesejukan sudah mulai dipisahkan perlahan.

Kita berlari menghindar dari waktu, menaruh harap agar waktu berhenti mengubah pagi menjadi siang. Kepadamu sang waktu, jangan rebut sisa mudaku dengan cara-cara licik. Sengaja mempercepat masa kering kami, kemudian dengan bahagianya kamu mengalahkanku.

Sang waktu, kenapa kau mengambil daun-daun yang kemesraannya masih terasa, tidak ingatkah kau di mana kepalaku bersandar.

Aku teduh, aku sejuk, aku nyaman dengannya, tapi kenapa kau letakkan dia disebelah sana. Kau bilang apa kepada batang dan ranting yang membesarkannya, sehingga kini mendengar namaku saja mereka muntah.

Ya Tuhan, dan sang waktu, kenapa pagi ini gelap. Apakah ini sebagian dari rencanamu.

Aku takut malam, karena meski mataku normal, jalanku sempoyongan ketika ku mencari jati diriku sendiri.

Di mana cahaya yang biasanya menemaniku pagi. Yang mampu menyambutku dengan senyum salam maha hangat, ketika aku menggigil setelah melewati malam beku karna haru.

Ya Tuhan, dan sang waktu, aku berharap waktu berjalan di tempat, tapi malah kebahagiaan kami yang berhenti berjalan.

Aku adalah embun, yang sedang kering dan malam. Butuh dedaunan dan banyak cahaya. Dan dialah yang aku butuhkan.

Andai setiap waktu adalah pagi.

Kami akan lupa cara bersyukur disaat jatuh.

............................

Aku merasakan embun ketika:

Dia mulai menggoda dengan bahasa manjanya yang sekelebat tampak menyepelehkanku, demikian 'kedewasaan' datang perlahan.

Dan aku slalu mengingatkannya ada 5 adzan dalam sehari. Berlaku sebaliknya, dia tak pernah lupa, menggiringku ke suatu bait yg tersimpan salib.

Aku dan kamu adalah embun ketika:

DAHULU apa yg kita rasakan

SEKARANG apa yg kita rasakan

KELAK apa yg kita rasakan.

Karena dahulu ada pagi, sekarang ada pagi, dan kelak ada pagi.

Embun tak pernah mengkhianati pagi, apalagi pagi yang bertanggung jawab atas hari.

Kenangan adalah embun yang sudah-sudah namun masih menyejukkan perasaan. andai kata kenangan adalah tali panjang yang membentang dari bukit satu ke bukit kedua, kemudian ketika kita kembali mengingat-ingat siapakah kita dahulu,kita sperti menyebrangi bukit satu ke bukit dua diatas tali. Tampak indah diatas sana, namun skali lamunan kita jatuh mati.

Puji Tuhan,

Meski duniaku sudah duniaku sendiri dan dunianya itu dunianya sendiri, tetapi embun yang kami maksud masih tetap milik kami berdua.

Aku menyayangimu atas nama kebebasan.

#CintaBedaAgama

Aku adalah bagian dari banyak jawaban salah, yang sempat kau lingkari. MUNGKIN!

Supermini,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun