Mohon tunggu...
Zulidyana D Rusnalasari
Zulidyana D Rusnalasari Mohon Tunggu... Ilmuwan - a learner that is still learning about everything... Cultural Studies freak, literature and philosophy learner... /ILUNI 2012/ IKA Unair 2009/ UNESA 2016

a learner that is still learning about everything... Cultural Studies freak, literature, and philosophy learner... /ILUNI 2012/ IKA Unair 2009/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Labelitas, Kebanggaan Semu atas Identitas

5 Desember 2012   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:08 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada sebuah tulisan, seorang Judith Butler menekankan “identity is fluid”, ungkapan ini pun disepakati banyak pemikir barat maupun timur, bahwa sesungguhnya identitas seseorang dapat berubah. Meski secara biologis dia terkategori kelamin tertentu namun bila pada kenyataannya dia hidup sebagai negasi atas biologis yang dia punya, maka yang menjadi label untuk identitasnya adalah “apa yang dia tampilkan”.

Contoh ini adalah contoh yang ekstrim, namun di sekitar kita terutama di sekitar saya pun banyak sekali orang-orang yang melabeli diri mereka dengan warna tertentu, aliran tertentu, bahkan partai tertentu untuk menunjukkan eksistensi mereka pada dunia.

Ah, semu sekali labelitas tersebut jika hanya untuk identitas yang menyembulkan kebanggaan semu atas apa yang ada di pundaknya (baca:pangkat), apa yang ada dalam genggamannya (baca: harta), atau apa yang ada di dalam kepalanya. Identitas itu memang berwarna atas warna tertentu, tapi bukan lantas menjadi absolut, seseorang dari kelompok tertentu akan berlaku sesuatu yang tertentu pula, itu jadi “stereotype”.

Anehnya banyak sekali orang di sekitar kita yang menikmati stereotype itu, mereka menggunakan label tertentu lantas dengan senang hati dianggap sesuai dengan label itu. Seharusnya kita selalu sadar bahwa kita adalah manusia, bukan barang yang dihasilkan oleh pabrik, ada yang mengendalikan mutu, di cek, di beri label, siap dipasarkan.

Hai-hai, kawan –kawan yang merasa berlabel atas sesuatu, jangan lupa label yang kalian lekatkan pada diri kalian bukanlah sesuatu yang pantas untuk dibanggakan, itu mendekati riya saudara-saudara, dan itu juga anda mulai mencicipi syirik kecil, (bagi anda yang beragama Islam tentunya).

Parahnya, dengan label yang kalian punya, kalian mulai melabeli orang lain, lalu itu menjadi sebuah “distinction”, yang biasanya kalian nilai berdasarkan atas habitus kalian atau orang yang kalian labeli. Jika kalian menjadi kelompok dominan, kalian akan menjadikan diri kalian kelas satu, yang beda label kelas dua, dst. Jika kalian menjadi minoritas, kalian akan bertirani, mengeksklusifkan diri beserta kelompok kalian, wah LABEL kalian itu membahayakan, tidak hanya untuk diri kalian, tapi juga orang lain. Jika hal ini terjadi, maka pelan tapi pasti akan terjadi perpecahan, ketidakpahaman atas orang lain (terutama yang berbeda label dengan kalian), kebanggaan berlebihan atas kelompok atau label tertentu akan menyebabkan seseorang cenderung merasa benar sendiri, begitupun kelompok yang terpaksa terlabeli dan menjadi kelas kedua dalam sebuah komunitas, mereka akan beresistensi dan melakukan hal yang “dipaksa/ terpaksa” berbeda dengan yang dominan, (biasanya akan menimbulkan tindakan anarki, atau sikap antipati—inilah yang menyebabkan Indonesia sulit menjadi negara yang maju).

Kasihan bangsa ini, rakyatnya yang begitu multi dengan budaya, agama, pemikiran, dan identitas, harus selalu dipusingkan atau disibukkan dengan label – label tertentu untuk memiliki identitas tertentu, dan itu semua semu, semu yang berkepanjangan, rapuh dan tidak berguna. Sudah seharusnya sebuah “perayaan perbedaan” menjadi dasar untuk menilai, bukan penilaian atas label tertentu, agama tertentu, budaya tertentu, profesi tertentu, warna tertentu, golongan tertentu…

Note: berlabel atas sesuatu jangan pernah menjadi sebuah kebanggaan, karena itu hanya label, bukan identitas asli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun