Bagi anda yang pernah berkunjung ke restoran atau tempat makan umum, pasti tidak asing lagi dengan pola review dan perangkingan ala tempat makan ini. Semakin banyak review yang sepakat dengan skor tertentu (bintang satu -- bintang lima) maka, skor yang dimiliki (seolah) menjadi lebih valid. Pun demikian hampir semua acara televisi populer mengandalkan skoring pemirsa sebagai rujukan utama dalam menentukan rangking dan pemenang.
Skoring dan ranking, sudah menjadi saudara kembar jaman dahulu kala, entah dimulai sejak kapan. Namun ini merupakan budaya yang terus dilestarikan di Indonesia. Semua hal diberi skor lantas diperbandingkan, semakin banyak yang setuju dengan skor tertentu  maka validitas skor nya semakin tinggi, dan begitu seterusnya. Kemudian  setelah disemati skor, hal tersebut lantas di tempatkan dalam urutan tertentu, yang variable nya juga ditentukan.Â
Maka muncullah, apa yang berhak di peringkat teratas, apa yang menjadi peringkat terbawah. Coba tengok keseharian kita, berapa kali dalam sehari kita punya "kuasa" memberi skor kepada apapun, entah driver ojol, toko online, atau bahkan skor untuk makanan yang baru saja kita habiskan. Sebagai konsumen, kekuasaan pemberian skor dipengaruhi oleh selera, latar belakang, dan minat serta cara kita menikmati barang/jasa yang kita konsumsi. Â Pendeknya, skoring nya "suka-suka" kita.
Nah, bagaimana jika saudara kembar ini diterapkan di dunia akademik? Dunia yang kata orang "bagai menara gading" yang gagah dan berwibawa? Skoring nya ada berbagai macam, untuk siswa misalnya skoring menjadi sangat subjektif, dengan berakhirnya masa kejayaan UNAS sebagai penentu satu-satunya kelulusan seorang siswa, skoring pada siswa saat ini dibuat sebisa mungkin menjadi sangat personal, bahkan beberapa tahun terakhir sekolah-sekolah yang mengaku "berstandar internasional" menghapus rangking di kelas. Alasannya sangat mulia : anak tidak perlu diurutkan dalam ranking, setiap anak memiliki prestasi dan bakat nya masing-masing. Cukup diperlihatkan saja, berapa nilai yang di bawah standar kelulusan. Yang kemudian dengan skor tersebut orang tua diberi keleluasaan mendorong anaknya dalam meningkatkan prestasi, bukan menjadi peraih rangking.
Di dunia perguruan tinggi, skoring tanpa ranking semacam ini sudah berlangsung lama. Sebagai dosen, saya tidak pernah repot-repot merangkum nilai mahasiswa saya, lantas membuatnya dalam rangking seperti jaman SD dan SMP saya dulu. Predikat A, B, C atau D saja sudah cukup memberikan "makna" bahwa mahasiswa tersebut akan ketemu saya lagi atau tidak. Tapi, ranking kadang masih muncul di dunia kemahasiswaan, misalnya ketika para lulusan akan diwisuda, akan ada variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan siapa yang layak menjadi "lulusan terbaik" di satu universitas. Ada juga yang dibuat per prodi atau fakultas, tujuannya sama "looking for the best", untungnya hal ini relatif tidak menjadi beban bagi mahasiswa, karena hanya satu yang akan "menang" sisanya "dianggap sama" yang penting lulus. Dan mahasiswa tidak akan pernah tahu, siapa yang di peringkat paling bawah.
Namun, belakangan, muncul inovasi luarbiasa dari kemenristekdikti, untuk menilai produktivitas dosen dan peneliti di seluruh Indonesia. Namanya SINTA, update nya setiap hari, berdasarkan jumlah publikasi para peneliti dan dosen. Jumlah nilai yang "dikumpulkan" oleh dosen dan peneliti tersebut akan menentukan juga peringkat institusi yang menaunginya. Praktis, banyak universitas yang berlomba-lomba mengejar skor SINTA dengan berbagai cara. Dari cara yang biasa sampai dengan cara yang luar biasa (di luar kebiasaan), pun dengan cara yang benar maupun dengan cara yang kurang benar.Â
Awalnya mungkin hanya untuk memotivasi, sambil membanggakan peringkat Indonesia di mata penerbit komersil internasional. Namun, akibatnya banyak polemik yang terjadi, Kemenristekdikti mungkin perlu menengok kembali, apa tujuan utama skoring dan ranking SINTA? Perlu kembali menelaah, mengapa perlu tahu, dosen A lebih produktif dari dosen B? atau mengapa perlu menilai, peneliti di univ A lebih banyak disitasi daripada di Universitas B? Bukankah semua instrument penilaian kinerja dosen sudah sangat menumpuk di BKD-LKD? Pun juga secara administratif global, sudah terangkum dalam Borang Akreditasi? Ibaratnya: Â Mengapa perlu menilai seorang koki dari cara dia memasak pasta, padahal dia spesialisasinya adalah baking? Lalu dengan semena mena memberi skor masakan kue basah rumahan dengan standar yang dimiliki restoran? Apa manfaat dan tujuan yang sebenarnya?
Bagi saya, akreditasi universitas dan program studi sudah sangat merepotkan, instrument yang disiapkan sudah menjadi tolok ukur yang kompleks, memang belum sempurna, tapi membuat skoring SINTA sebagai "sesembahan" baru para peneliti hanya akan menambah daftar panjang paradoksasi sebuah kualitas pendidikan tinggi.
Yuk, bapak ibu pemangku kebijakan, sekali-kali ikut mengambil raport anaknya di sekolah. Karena sebagai pendidik, kita juga perlu sesekali menengok bagaimana cara guru menilai siswa nya di kelas, mereka menilai dengan narasi. Betapa mirisnya, rangking (secara personal) yang sudah mulai punah di jenjang sekolah, saat ini malah "disembah-sembah" dan tumbuh subur di kalangan para petinggi kampus dan dosen. Karena bagi para pendidik SKORING dan RANKING bukan saudara kembar yang bisa digunakan untuk meramal "masa depan" siswa. Bagaimana dengan skor SINTA? Bisakah meramalkan kebegawanan seorang peneliti? Bukankah produktivitas peneliti bukan hanya didasarkan pada jumlah publikasi dan sitasi.
(peneliti awam sekaligus mahasiswa, zulidyana d. rusnalasari)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H