Sabtu 25 Maret 2017 menjadi sebuah kisah yang mungkin tidak bisa saya lupakan dalam perjalanan hidup ini. Iya, hari ini pertama kali saya mengurusi sebuah kegiatan workshop, tingkat kabupaten, padahal sebelum-sebelumnya saya hanya selalu jadi peserta di sebuah kegiatan. Menjadi panitia memang tidak mudah dari persiapan tempat, mempersiapkan undangan-undangan, perizinan dan masih banyak lagi yang lainnya. Kegiatan workshop ini dibarengi dengan pelantikan pengurus IGI daerah. Belum ada 1 tahun saya menjadi anggota IGI dan sekarang saya sudah harus menjadi pengurus daerah. Sebuah tanggung jawab yang sangat besar bagi saya untuk bisa memfasilitasi guru-guru supaya dapat belajar
Kegiatan workshop kali ini sebenarnya merupakan agenda Roadshow IGI Pusat yang ditujukan untuk wilayah Kalimantan Barat selama tiga hari. Dan Pada hari ketiga kegiatannya dilaksanakan di Kabupaten Ketapang. Sebuah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, karena pemateri pemateri yang hadir adalah orang-orang hebatnya IGI yaitu Sekjen IGI Bapak Mampuono dari Semarang dan bendahara umum IGI yaitu Bapak Gusti Surian dari Kalimantan Selatan. Kedua orang ini benar-benar luar biasa segudang prestasi yang mereka raih baik itu tingkat nasional bahkan tingkat internasional. Selama 2 hari saya bersama mereka, banyak sekali ilmu yang dapat dipetik dari kebersamaan ini. Sesuatu hal yang paling sangat saya ingat ketika kami makan malam bersama, Bapak Sekjen mengatakan " Apa yang dilakukan IGI saat ini?" Kemudian Beliau menyuruh saya membuka al-qur'an digital yang ada di Android dan membuka surat Al Baqarah ayat 44 dan surat Ash-Shaf ayat 3, kemudian membaca terjemahannya masing-masing Ayat tersebut.
" Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka Tidakkah kamu berfikir?" (QS. Al-baqarah: 44)
" Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa apa yang tidak kamu kerjakan" (QS.Ash-Shaf: 3)
Dari dua surat dan 2 ayat diatas sudah jelas bahwa kita sebagai seorang guru sering merupakan dan melanggar ayat diatas. Kita (guru) selama ini selalu menyuruh siswa untuk belajar hal-hal yang baru dari yang tidak tahu supaya menjadi tahu, yang tidak tahu perkalian menjadi Mahir dalam perkalian, yang tidak tahu menulis jadi bisa menulis, yang tidak tahu membaca jadi lancar dalam membaca, dan masih banyak yang lainnya. Apa yang dilakukan oleh Sang Guru? Apakah guru mau belajar? Apakah guru terus membaca dan menulis? Itu pertanyaan kita (guru) sendiri yang berhak untuk menjawabnya.
Menuntut ilmu bagi kita adalah sebuah kewajiban. Menuntut ilmu bukan hanya buat mereka yang duduk di bangku sekolah saja, melainkan buat semua umat manusia. " Tuntutlah ilmu sejak dari buayan hingga liang lahat". Hadits ini tidak jarang kita dengar dalam ceramah atau kita jumpai ketika membaca buku-buku agama. Terlepas dari shohih atau tidaknya hadis itu bagi kita menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban.
Semasa masih bergelar sebagai mahasiswa perguruan di bangku kuliah, kita (guru) benar-benar menjalani aktivitas perkuliahan dan terus belajar demi untuk mendapatkan Indeks Prestasi (IP) yang kita butuhkan. Banyak ilmu yang kita dapatkan demi untuk bekal menjadi seorang guru yang profesional. Tapi apa yang terjadi ketika sudah lulus dari bangku perkuliahan dan sudah terjun ke dalam dunia pendidikan. Apakah kita masih terus belajar?
Saya terinspirasi dari sebuah buku Guru Eksis Why Not? tulisan dari Bapak Dr. Basman Tompo, S.Pd, M.Pd mengatakan Kita harus berani keluar dari zona nyaman. Apa itu zona nyaman? zona nyaman atau istilah comfort zone adalah suatu keadaan atau kondisi dimana seseorang sedang terlena atau terbuai. Sebagian kita yang berprofesi guru menjadi terbuai dan keenakan dengan apa yg ada sekarang. Kita menjadi pesimis untuk berubah dan sudah sangat puas dengan apa yang menjadi kebiasaan kita. Kita sudah cukup nyaman dengan kondisi saat ini. Mengajar hanya sekedar memenuhi kewajiban, pindah dari kelas yang satu ke kelas yang lain. Kita tetap setia menggunakan model pembelajaran konvensional, hari demi hari, minggu demi minggu. Berharap setiap bulan menerima gaji. Begitu seterusnya. Tidak ada perubahan sedikitpun. Terbiasa oleh rutinitas harian, ibarat robot yang sudah diprogram oleh pembuatnya untuk suatu fungsi khusus. Kaku dan statis. Lantas, mengapa zona nyaman berbahaya? Karena orang yang terjerat olehnya akan mengalami kondisi stagnan, tidak bisa lagi maju, tidak bisa lagi berkembang. Jalan di tempat. Celakanya kinerja cenderung menurun karena tidak bisa mengimbangi kondisi kini yang senantiasa dinamis. Kemajuan teknologi yang begitu cepat telah menggempur segala sendi kehidupan manusia tak terkecuali dunia pendidikan. Mau tidak mau, suka tidak suka, guru harus meninggalkan kebiasaan lama yang masih mengajar dengan menggunakan pola pola tradisional. Sebetulnya, mereka tahu bahwa eksistensi dirinya sebagai guru di abad ini menjadi terancam jika tidak mau berubah. Namun sayangnya, tidak semua kita bersemangat untuk tampil menjawab tantangan zaman karena tidak berani keluar dari zona nyaman. Olehnya itu tidak ada jalan lain, agar guru dapat keluar dari kondisi ini diperlukan komitmen tinggi, tekad yang bulat, daya hentak yang kuat untuk dapat melepaskan diri dari jeratan energi zona nyaman.
Guru SMP N 1 MHU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H