Tahun ini bagiku tahun yang amat ganjil. Aku dan ibu tiba-tiba mempunyai kebiasaan yang tak biasa. Kami selalu bersama setiap momen. Aku jadi setia menemaninya di dapur. Membantunya mengupas bawang, memotong sayur-mayur, membersihkan beras sebelum ditanak, dan yang paling aku sukai adalah mencuci piring. Rutinitas baru itu membuatku tiba-tiba tak mau melewatkan momen sederhana bersama ibu, termasuk makan pelecing bersama di gazebo rumah.
Aku tak tahu persis apa yang mengubahku menjadi dekat dengan ibu. Awalnya aku termasuk pribadi yang apatis terhadap kehidupan sekelilingku. Di tahun-tahun sebelumnya, aku sibuk dengan duniaku sendiri--nongkrong di warung kopi bersama teman atau mengurung diri di kamar jika tak ada agenda keluar. Hari berikutnya pun sama. Mungkin karena setiap ke dapur mengambil makan aku bertemu ibu, aku tiba-tiba rajin mengamatinya memasak, atau bisa jadi pengaruh buku-buku feminist yang kubaca. Ntahlah, aku tak ingat. Yang jelas, aku tiba-tiba tak mau melewatkan sedetikpun kebersamaan kami di dapur.
Ketika di dapur biasanya aku sering menjahili ibu dengan pertanyaan-pertanyaan remeh: mengapa cabe rasanya pedas, mengapa pelecing harus berbahan dasar kangkung, dan mengapa kangkung Lombok lebih enak dari kangkung Jawa. Setelah mendengar celotehnya, barulah aku menanyakan hal serius: bumbu-bumbu apa yang ia gunakan dalam memasak sambal pelecing kangkung, berapa cabai yang dibutuhkan, dan berapa ikat kangkung yang harus ia siapkan saat membuat sambal pelecing, atau mengapa ibu tidak pernah absen membuatkan kami sambal pelecing kangkung. Namun saat aku mulai bertanya serius, giliran aku yang dijahili ibu: "Kamu mau jadi duta pelecing?", katanya karena aku terlihat penasaran dengan menu favorit kami itu.
Obrolan-obrolan ringan dan bersahaja tak pernah lepas dari hari-hari kami. Ibu akan dengan senang menjelaskan tiap kali aku bertanya hal-hal yang berkaitan dengan dapur, rumah tangga, dan bagaimana menjalani hidup semasa muda dulu. Ibu sangat gembiran berbagi kisah masa mudanya. Menjelaskan dengan riang dan runut tanpa terputus-putus. Terlihat dari roman mukanya yang begitu cerah saat ia bercerita.
Setiap hari kami mulai lebih akrab. Ngopi, memasak, ngobrol, atau menemani ibu ke pasar. Sejak momen-momen sederhana itu rutin aku lakukan bersama ibu, saat itu pula ibu mulai ingin sekali dibuatkan kopi olehku. Ibu tahu aku mempunyai alat-alat kopi. Setiap pagi kami akan selalu duduk berdua di halaman rumah dengan kopi dan tentu ada beberapa kue basah yang ibu bawa dari pasar.
Aku rasa aku harus lebih belajar lagi memahami pikiran ibuku. Ibu selalu melirikku saat aku duduk sendiri sambil membaca buku di halaman rumah. Sesekali ibu membelikanku roti atau apa saja yang bisa dimakan saat aku duduk sendiri.
Tahun ini, adalah tahun dimana aku mulai lebih dekat dengan ibu. Ibu tanpa sungkan lagi memintaku untuk dibuatkan kopi atau bertanya tentang apa saja. Ibu sangat cerewet bertanya mengenai nama alat-alat kopi yang aku gunakan untuk kopinya. Begitulah kebiasaanku dengan ibu setiap hari. Selain berbicara tentang hal-hal kecil dan sederhana, ibu juga mulai bertanya tentang menu pelecing kangkung yang biasa ia siapkan saat aku dan saudaraku masih tinggal dalam satu rumah.
Saat aku diam, ibu akan menungguku berbicara dengan tatapan mata yang menyimpan ribuan pertanyaan yang tak pernah terlontarkan. Aku rasa ibu memiliki kegundahan hati yang sangat dalam mengenaiku, tetapi tak pernah sekalipun ibu keluarkan. Pikiran tentang ibu terasa terang tetapi membingungkan. Pertama-tama aku mencoba memahami apa kemauan ibuku dan apa yang tersimpan dalam benaknya, tetapi tentu aku tak berani menanyakan hal semacam itu secara terus terang. Apakah aku keliru memahami ibu?
Ini pertamakali ibu bertanya hal yang lebih serius padaku. Dalam banyak kesempatan, aku dan ibu tak pernah sekalipun membahas hal-hal serius. Aku tidak tahu apa yang terjadi kali ini. Amat ganjil. Aku tak punya jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. Aku hanya bisa memandangnya dengan ragu. Sesekali melempar senyum manis yang kubuat-buat sebisa mungkin.
Ibu terus saja memandangku lekat-lekat.