Kesuksesan itu, bukan saat kau mencapai impian, tetapi
saat kau sanggup mempertahankan dan terus meningkatkan.
(Supartono JW.15092016)
Pekan pertama, Â kasta teratas kompetisi sepak bola nasional sudah bergulir. Kompetisi bertajuk Go-Jek Traveloka Liga 1 dibuka dengan pertarungan dua raksasa Pulau Jawa Persib Bandung kontra Arema FC di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Kota Bandung, Sabtu 15 april 2017. Megaduel antara juara bertahan liga dengan kampiun Piala Presiden 2017 ini sekaligus menandai kembali dimulainya liga resmi domestik setelah terhenti dua tahun silam. Menganut format kompetisi penuh, kandang dan tandang, sejumlah 355 pertandingan digelar secara maraton dengan melibatkan 18 klub yang dijadwalkan rampung pada 12 November 2017. Sistem promosi dan degradasi kembali dilakukan. Tiga kesebelasan terbawah di Liga 1 akan terdegradasi ke Liga 2. Sebaliknya, tiga tim teratas Liga 2 akan promosi ke Liga 1.
Waktu kan membuktikan
Pekan pertama sudah dilewati, namun publik sepakbola nasional merasakan adanya hal yang aneh dalam kompetisi kali ini. Bagaimana tidak, Kompetisi yang bernama Liga 1 dengan label sponsor Go-Jek Traveloka, sejatinya adalah kompetisi sepakbola nasional di kasta tertinggi. Namun, tontonan berkelas yang seharusnya didapatkan oleh publik sepakbola nasional sepanjang pertandingan dari menit pertama hingga menit akhir, baik disaksikan langsung di Stadion maupun lewat layar televisi, nyatanya tidak lagi layak disebut berkelas. Apa pasalnya?
Dalam Liga 1 ini, PSSI tetap mengadopsi regulasi pemain muda yang sudah diterapkan pada Piala Presiden 2017 lalu. Setiap kontestan wajib memiliki minimal lima pemain muda yang tiga di antaranya wajib dimainkan pada 45 menit pertama. Tetapi pada peraturan lainnya, PSSI malah menambah jatah jumlah pemain asing melebihi tiga pemain. PSSI membuka lebar kesempatan bagi klub-klub untuk merekrut pemain-pemain asing "tua" bahkan hingga lima pemain, asalkan berlabel pemain bintang internasional (marquee player) yang pernah berlaga di tiga edisi Piala Dunia terakhir atau pernah berkiprah di Liga top Eropa seperti Liga Inggris, Spanyol, Italia, Jerman, Belanda, Prancis, Portugal, dan Turki.
Inilah yang memicu, publik berkomentar bahwa, menonton Liga 1 itu aneh. Karena publik sepakbola nasional harus menyaksikan setiap pertandingan Liga 1 yang sulit ditebak, karena setiap tim wajib memainkan tiga pemain u-23 di 45 menit babak pertama, tidak ada penawaran. Namun, pemain asing atau  marquee player malah boleh berusia tua.
Sebagai ilustrasi, kala menyaksikan Persib versus Arema. Baik Persib maupun Arema, kebetulan memiliki pemain muda di bawah 23 tahun yang kemampuannya sudah dapat mengimbangi pemain senior. Namun, Persib yang didukung oleh marquee player,ternyata tidak mampu lepas dari permainan ketat Arema dan akhirnya ditahan imbang. Publik memang hadir memenuhi Stadion, atau setia di depan layar televisi, berharap menyaksikan pertandingan berkualitas pembukaan Liga 1. Nyatanya, marquee playeryang digadang-gadang bukan hanya untuk menaikkan gengsi tim/sepakbola nasional, justru kedodoran fisiknya karena harus mengimbangi pemain-pemain muda yang masih memiliki kemampuan fisik tinggi. Pertandingan Persib-Arema memang berlangsung ketat, namun aneh karena ada pemain yang fisiknya kedodoran, cara berlarinya juga terlihat jauh dari level kasta tertinggi, karena dimakan usia.
Persib dan Arema memang tidak kesulitan memasang pemain U-23  karena kedua tim ini memiliki pemain muda yang bertalenta dan bahkan sudah direkrut dalam timnas U-22, meski pengalamannya masih jauh  dari pemain senior lainnya, namun seluruh pemain bintang kedua tim tetap tidak dapat turun sejak kick off dimulai. Hasilnya, sejak awal hingga akhir pertandingan, publik tidak dapat menyakiskan pertandingan hebat sekelas kasta tertinggi sejak menit awal. Bagaimana pula dengan kontestan lain, yang pemain U-23nya belum selevel pemain-pemain U-23 Persib dan Arema?
Sementara  ilustrasi di pertandingan lain, publik dibuat geregetan karena di babak pertama seperti menonton kompetisi sepakbola antar kampung. Bagiamana tidak, karena terpaksa harus menurunkan pemain U-23 di 45 menit babak pertama, sementara pemain U-23 masih belum dapat mengimbangi permainan seniornya, hasilnya, jangankan membuat tim mengimbangi lawan, strategi permainan tim sendiri juga tidak dapat berjalan karena adanya perbedaan kualitas pemain muda dan senior. Nampak jelas, kebingungan, strategi dan pola pelatih yang tidak dapat dikembangkan pemain, hingga salah kontrol dan salah passing.