Musim politik yang masih belum reda dari sisa-sisa perseteruan akibat Pilpres 2019, sewajibnya semua pihak, terutama kalangan elite, para pemimpin, para akademisi, hingga rakyat pada umumnya, turut menjaga dan meredam timbulnya kembali riak-riak yang dapat kembali mamanaskan suasana.
Sudah cukup rasanya, akibat pilpres, semua rakyat Indonesia menjadi mengharu-biru dibuat saling bersengketa antar teman, sahabat, saudara, hingga di dalam keluarga yang berbeda dukungan.
Sudah begitu, media massa yang seharusnya dapat menjadi peredam timbulnya bara perseteruan, justru malah terus memantik api dalam sekam.
Bahkan, kata-kata, pendapat, opini, pernyataan para elite politik terus digulirkan demi menggiring rakyat dalam opini yang semakin rentan timbulkan disintegrasi bangsa. Bukan untuk kebaikan dan teladan.Terlebih bila persoalan yang diapungkan menyentuh hal-hal berbau SARA.
Seiring dengan persoalan politik yang masih terus digoyang, lalu masalah zonasi sekolah dalam PPDB di dunia pendidikan juga terus menjadi polemik, tiba-tiba, dunia pendidikan dikagetkan tentang persoalan pendidikan agama yang diusulkan dari pembelajaran di sekolah.
Seharusnya, dalam situasi dan kondisi bangsa kita yang masih sangat sensitif, jangan ada pihak baik instansi, organisasi, maupun individu yang memancing di air keruh.
Harus dipikirkan secara matang bila mau berpikir kreatif dan kritis, terlebih apa yang kita pikirkan terpublikasi di media massa, sementara, persoalannya sangat sensitif seperti mengusulkan agar pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah.
Jujur, saat pertama saya membaca informasi dari media massa, tentang usul tersebut, saya langsung menyelidik, siapa sosok yang saya anggap, ibarat berani melawan arus dan langsung menciderai perasaan masyarakat tersebut. Membikin usulan yang sangat tak populer.
Ternyata, dia adalah Praktisi Pendidikan Setyono Djuandi Darmono yang menjabat sebagai Chairman Jababeka Group, yang juga pendiri President University tersebut.
SD Darmono berpendapat, agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.
Jelas saja, berbagai kalangan sontak menyoroti opini yang muncul di saat dan waktu yang tidak tepat. Tidak berpikir panjang, sebab opininya sangat mudah dimentahkan dan konyol.