Sepak bola nasional kembali berduka. Satu nyawa melayang sia-sia. Siapapun yang menjadi korban dan siapa pun pelakunya, sejatinya, kedua-duanya adalah korban. Tidak perlu juga memandang korban dari kelompok mana, dan pelaku dari kelompok mana. Sama saja, saya sebut, keduanya juga korban. Mengapa?
Sepak bola nasional yang terus berkembang di segala lini dengan kerucut tertinggi lahirnya pemain Timnas handal di segala usia, hasil dari kompetisi bergengsi baik dari pihak swasta maupun PSSI, kini membuat publik sepakbola Asia Tenggara, Asia, dan dunia mulai memerhitungkan nama Indonesia.Â
Hal ini tidak lain karena selain para pelaku sepakbola nasional yang terus mengembangkan diri baik pemain, pelatih, ofisial, dan klub, juga karena dukungan utama dan terbesar dari penonton yang senantiasa setia berada di pinggir lapangan mendampingi serta mensuport  tim kesayangannya berlaga dan memancing minat sponsor.
Sayang, hingga saat ini, PSSI dan seluruh stakeholder sepak bola nasional masih abai terhadap kondisi suporter sepak bola Indonesia yang jauh dari cerdas bersikap menjadi suporter.
Yang lucu, dengan adanya korban di pihak suporter, yang membuat ulah juga suporter, malah ada usul membekukan sepak bola nasional. Tidak rasional dan aneh!
Suporter itu juga manusia. Bila Pemerintah melalui Kemendekbud menyelenggarkan pendidikan nasional formal di semua jenjang demi tujuan melahirkan manusia Indonesia yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, meski sudah ada pendidikan di kelas, hingga kini tawuran pelajar masih kental dan mengerikan.
Bagaimana dengan suporter sepak bola Indonesia yang di dalam maupun di luar stadion tidak lagi ada perbedaan sosial dan pendidikan. Di dalam stadionpun hanya dibatasi oleh tribun berbeda harga tiket, namun secara manusia, saat bertugas menjadi suporter stratanya sama.
Dari yang belum mengenyam pendidikan hingga yang telah berpendidikan formal, sama saja tempatnya karena seragam oleh harga tiket.
Nah, semakin miris, ketika suporter yang berbeda latar pendidikan pun harus berada di tempat yang kurang mendidik karena tribun penonton masih banyak stadion di Indonesia tanpa bangku penonton (singel seat). Ada bangku penontonpun, malah jadi tempat injakan kaki.
Apa bedanya kini pertandingan sepak bola di stadion-stadion Indonesia dengan media sosial. Tidak ada beda. Semua sama-sama mudah diakses oleh siapa saja. Dari anak kecil hingga dewasa, dari yang belum memahami menjadi suporter sepakbola yang berbudi pekerti luhur hingga suporter yang sudah cerdas.
Meninggalnya suporter Persija di tangan suporter Persib, adalah fakta bahwa korban dan pelaku adalah sama-sama korban. Keduanya adalah contoh suporter yang wajib diedukasi oleh PSSI dan stakeholder sepak bola nasional.