KATULAMPA. 12 Mei 2019. Keprihatinan kami di Bogor adalah sama. Tapi, keprihatinan ini kami wujudkan dengan komitmen bersama. Walaupun yang terlibat belum banyak. Tapi paling tidak, inilah yang dapat kami persembahkan pada kota yang kami tinggali dan demi planet bumi yang semakin membaik. Gerakan kami seolah seperti menggarami air laut. Ya. Bagaimana tidak. Kami bergerak paling lama 2-3 jam. Itupun hanya satu kali dalam seminggu. Sementara, setiap detik sampah terus masuk ke Ciliwung. Kami tidak akan berdebat. Ini salah siapa. Kami tidak banyak orasi, ini tanggung jawab siapa. Kami ingin, semua tersadar sesadar-sadarnya bahwa semua harus bergerak.Â
Katulampa yang selalu menjadi headlines berita pada musim hujan, kini sunyi. Sepi. Dasar bendung nyaris kering kerontang. Air yang mengalir sangat sedikit. Batuan pemecah arus dan batu kali nampak jelas terlihat. Aneka jenis sampah jelas terlihat. Ban bekas, plastik, kain bekas, styrofoam, ranting, bambu seolah memanggil. Hai... aku disini! Â Dua batang kayu cukup besar dipotong oleh Andi Sudirman menggunakan chainshaw.
Mesin meraung memotong kayu ditengah suara gemuruh air dipintu Katulampa yang makin terdengar lirih. Â Sampah itu datang dari hulu Ciliwung. Hari ini, yang terlibat dalam aksi sekitar 30 orang. Mereka datang dengan sukarela. Tanpa dibayar. Bahkan, mereka mengeluarkan uang pribadi untuk sampai lokasi dan kembali lagi.
Setelah makan siang (Cucurag) kami bersama beberapa relawan  ziarah kubur almarhum Hapsoro (Pendiri Bogor Ciliwung Community - Laskar Karung). Hapsoro meninggal tahun 2012 setelah berjuang membersihkan sungai bersama beberapa relawan selama sekitar 3 tahun. Di sini, kami berdoa dan mengenang jejak almarhum berjuang untuk Ciliwung. Kami teruskan jejak perjuanganmu, Hapsoro. Semoga engkau dalam lindung-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H