Beberapa tahun terakhir ini. Aku sering menjumpai pemotor melawan arus di jalan raya. Tidak hanya kaum pria. Wanita juga ada. Tidak hanya anak remaja belia. Bahkan orang tua dam dewasa ada juga. Bukan hanya roda dua, pada titik tertentu roda empat ada pula.
***
Sementara, di Jakarta, yang sering aku lihat di sekitar putaran UP. Pemotor dari arah Lenteng Agung Timur, memutar di Lenteng Agung Barat arah Srengseng Sawah. Pun di depan Kampus UP. Â Pemotor melawan arus arah Srengseng Sawah. Mereka gadaikan waktu dengan kematian.
Lebih menyedihkan lagi di sekitar Pasar Minggu. Terutama pada sore atau malam hari setelah Polisi tidak ada. Rombongan pemotor dari arah Ragunan Raya menerobos berjamaah menuju arah stasiun. Di sini, pemotor dari arah utara dan selatan bertemu. Blekkzz. Sama-sama tertahan oleh commuter yang melintas. Macetnya ampun-ampunan. Mau membelah jalan dari stasiun dan sebaliknya sulit minta ampun.
Aneh memang. Kesadaran mematuhi rambu rendah. Saat tertentu mereka takut. Takut pada petugas yang melakukan operasi pelanggaran lalu lintas. Rambu dibuat tanpa alasan. Pasti untuk menjaga keselamatan semua pengguna jalan. Semestinya, ada petugas atau tidak, tertib berlalu lintas demi keselamatan bersama dijunjung tinggi. Bukan diludahi. Persetan dengan contoh pemberitaan pejabat, pengusaha yang korup. Kena OTT, disidang, didakwa, ditahan, dapat remisi dan bebas.
***
Sampai kapan budaya baru melawan arus ini akan berakhir?
Apakah harus menunggu nyawa melayang sian-sia?
Jakarta, 17 Oktober 2017