Mohon tunggu...
Suparno Jumar
Suparno Jumar Mohon Tunggu... Relawan - Warga negara kecil, berkarya kecil semoga bermanfaat bagi kehidupan

...satu lawan terlalu banyak, seribu kawan terlalu sedikit...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Hendak Membangun Istana Pasir

29 September 2017   20:56 Diperbarui: 29 September 2017   22:48 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Jembatan Sempur Bawah Jalak Harupat Mei 2016

SUNGAI Bogowonto membelah ladang dan sawah daerah asalku, Purworejo, Jawa Tengah. Sungai yang hulunya di Magelang sebelah utara daerahku dan mengalir ke selatan hingga bermuara di pantai Selatan Jawa. Masa lalu hingga kini, pada musim hujan, airnya meluap. Sawah, ladang, pemukiman dan infrastruktur jalan. 

Ingatanku melayang jauh ke era 80-an. Ketika aku dan teman-teman sering bermain di ladang, sawah, hutan dan tepi Bogowonto. Cekungan sungai yang mirip danau, tepiannya berpasir halus. Ranting kecil nan mengkilap, serpihan batok kelapa. Juga kerikil-kerikil indah jadi alat mainan kami. Kami duduk asyik membangun istana pasir. Kami berimajinasi bak perencana kota. Candi, kota kerajaan, jalan, jembatan, sawah dan pemukiman ditata. Sesekali, saat imajinasi menemui kebuntuan. Kami berenang menyeberang. Hingga sisi sungai yang lain, kami memanjat tebing. Akar-akar jadi pijakan dan pegangan. Kemudian pohon jambu yang tumbuh rindang kami panjat. Akar pohon yang menjalar, akar sebesar tali kapal kami jadi ayunan sebelum terjun ke danau. Byurrrr! Rasa segar memenuhi sekujur tubuh. 

Kami lanjutkan lagi membangun istana pasir hingga tuntas. Terkadang sampai kami di cari orang tua. Keesokan harinya, 'kota' yang kami bangun telah rata. Tersapu datangnya banjir.

***

Kini, entah seperti apa sungai Bogowonto. Apakah masih seperti dulu?

***

Paling tidak, masa lalu terobati ketika aku tinggal di Bogor. Namun, perjumpaanku kali pertama tahun 1999 membuat mataku nanar. Sungai Ciliwung di Tanah Sareal (kini Pasar Induk Warung Jambu) saat kemarau airnya surut drastis. Pada saat hujan lebih dramatis. Rasa hatiku benar-benar terbakar. Hampir tiap sudutnya banyak dijumpai sampah. Suatu ketika, kegelisahanku aku munculkan dihadapan teman-teman. Saat itu, teman-teman sepertinya menyerah. Aku semakin gelisah. Aku simpan kegelisahan hingga bawah alam sadar. 

***

Hingga jelang akhir 2016, saya berhasil kontak sahabat lama. Heri Kikuk yang saat itu sudah hijrah ke daerah Nanggung. Rasanya plong. Gayung bersambut. Akhirnya, aku dikenalkan pada Kang Entis. Pada percakapan telepon saat itu, rasa menggebu ingin segera bertemu di Ciliwung. Hingga pada akhirnya kami dapat berjumpa di bawah Jembatan Jalak Harupat. Mulai saat itu, aku memantapkan diri untuk turut menjadi relawan. Menggapai mimpi bersama tentang Ciliwung. Semoga ini tidak seperti membangun istana pasir.

Jakarta, Akhir September 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun