Tawuran antar pelajar acap kali sering terjadi. Bahkan belakangan ini sudah banyak yang menjadi korban. Banyak orang tua siswa yang mencemaskan kondisi yang memprihatinkan itu. Masyarakat, pada hakekatnya berharap melalui pendidikan dan proses pembelajaran, putra-putri mereka menjadi generasi yang terdidik, bermoral berbudi pekerti yang santun, berilmu, arif dan dewasa secara intelektual.
Tujuan pembelajaran dan pendidikan adalah untuk merubah pemahaman. Persepsi aqidah, akhlak, prilaku dan suluk dari yang salah dan buruk menjadi benar, lurus dan baik. Sungguh sangat kecewa bagi orang tua atau masyarakat jika para pelajar dan mahasiswa tidak mencerminkan cita-cita dan harapan ideal. Sebuah ungkapan jengkel dari fenomena kondisi buruk pelajar. "Mereka di didik bukan menjadi ber"iman" malah jadi "preman".
Kondisi pendidikan seperti itu mengundang keperhatinan kita semua. Kenapa bisa terjadi ? apa yang kurang atau apa yang salah dalam pendidikan kita. Apakah kurikulumnya yang belum pas, guru atau lingkungannya. Sebuah pendidikan tidak bisa lepas dari tiga komponen tersebut. Ketiga-tiganya harus berjalan saling mendukung. Jika salah satu elemen tersebut tidak berfungsi seperti yang diharapkan, maka kualitas (terutama moral) peserta didik kurang baik.
Pada tulisan kali ini akan dibahas Muwashofat (kriteria) pendidik (Murobbi) yang ideal agar dapat dijadikan Midyah oleh para guru untuk sukses dalam pendidikan. Guru memiliki wadoif (tugas-tugas) yang sangat menentukan, diantaranya : Attazkiyah artinya mensucikan jiwa dan prilaku agar senantiasa tumbuh mulia dan bersih. Menjaganya dari tarikan-tarikan negatif serta menjaga kesucian fitrahnya. Dan Atta'lim artinya mengajarkan dan mentransfer ma'lumat dan prinsip-prinsip aqidah dalam hati dan akal Mutarobbi (anak didik) untuk diaktualisasikan dalam prilaku kehidupan sehari-hari. Tugas mulia ini disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an :"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Al-Imran, ayat 164).
Agar para pendidik berperan sesuai dengan taklif (beban) dari Allah SWT sebagaimana yang dibebankan kepada para Rasul dan para pengikutnya, maka sebuah keharusan para pendidik hendaknya memenuhi beberapa sifat berikut ini :
Pertama, Ikhlas. Ikhlas merupakan penyempurna dari sifat Robbani. Para guru dalam menjlankan tugas pendidikannya tidak bertujuan kecuali untuk mendapatkan keridhoan Allah dan sampai pada Haq (kebenaran) yang sesungguhnya jika tidak, maka proses belajar mengajar itu hanya transfer ilmu belaka. Rosulullah bersabda " sesungguhnya Allah tidak menerima sebuah amal kecuali jika dikerjakan dengan ikhlas dan hanya berharap pahala dari sisinya (HR. Abu Daud dan Nasai)
Kedua, Sabar. Hendaknya para pendidik memiliki kesabaran yang tinggi dalam upaya mencerdaskan anak didiknya. Kesabaran dituntut karena kemampuan, level, intelektual dan latar belakang mereka berbeda-beda. Guru tidak dapat menyamakan kemampuan dirinya dengan kemampuan murid-murid. Untuk itu guru harus sabar, telaten dan tidak tergesa-gesa (Adamul Isti'jal)
Ketiga, Jujur (Assidq). Guru, hendaknya jujur kepada diri sendiri. Tanda-tandanya adalah ia mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga guru itu dapat memberikan contoh yang baik kepada peserta didik. Jika para murid melihat gurunya bertentangan dengan apa yang diajarkan, pasati murid-murid itu akan kecewa dan tidak Tsigoh (memberikan kepercayaan).
Tidak heran jika hubungan antara guru dan murid kasar dan tidak berwibawa, sebab guru tidak dapat ditiru dan tidak layak dihormati. Seyogyanya guru harus menjadi qudwah hasanah (teladan yang baik) bagi semua. Ketika memberikan perintah atau larangan, maka dia harus konsisten dan orang kali pertama yang memberikan contoh.
Keempat, Menambah wawasan. Hendaknya seorang pendidik senantiasa meningkatkan kemampuan ilmiyahnya, baik dengan membaca, berdiskusi bahkan melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Pemahaman serta pengetahuan yang pas-pasan akan sering melakukan kesalahan. Jika peserta didik sering melihat gurunya berbuat salah dan keliru, maka ketsigohan murid terhadap guru pasti menurun. Jika ilmu dan pengetahuan terbatas, apa yang akan diberikan kepada murid, "Faqidussyai la yu'yhi" orang yang tidak punya sesuatu, tidak dapat memberikan kepada orang lain.
Kelima, Mampu mengendalikan. Seorang guru hendaknya memiliki kemampuan untuk dapat mengendalikan para siswanya. Pengendalian bukan berarti bersikap galak dengan menakutkan akan tetapi sebuah sikap yang proporsional. Bila kondisi menuntut bersikap tegas bahkan sampai pada tahap memberikan hukuman yang edukatif, maka guru harus bersikap tegas, jika tidak ada alasan untuk itu, maka guru hendaknya bersikap luwes dengan fleksibel dan menunjukkan keakraban. Disamping itu, hendaknya guru sangat memperhatikan upaya-upaya kemaslahatan dan keluhuran akhlak peserta didik. Dan guru perlu mengetahui karakter murid yang suka bertindak tidak disiplin bukan suka usil dan berbuat onar.
Keenam, Mengetahui level intelektual siswa. Para pendidik harus memperhatikan mustawa (tingkatan) aqliyah (intelektual) peserta didik serta kesiapan kejiwaan peserta didik. Sebagaimana Atsar dari Ali bin Abi Tholib "Berbicaralah/berinteraksilah kamu dengan manusia sesuai dengan tingkatan pemahaman mereka ..." Ini berarti para pendidik harus memiliki latar belakang pendidikan psikologi takwini (pembentukan) dan tarbawi (pembinaan)
Ketujuh, Menyadari mas'uliyah (Tanggung jawab). "Satu hal yang tidak boleh dilewatkan oleh para pendidik dan kita semua, adakah Asysyu'ur bilmas'uliyah (menyadari akan tanggung jawab) pembinaan secara integral dan islami terhadap generasi muslim dan khususnya para siswa seyogyanya para pendidik secara umum baik guru agama atau umum memiliki kesadaran kolektif akan tanggung jawab pembinaan para siswa secara integral. Pembinaan itu mencakup aqidah, kesadaran ibadah, akhlak karimah, etika sosial yang fitri, peningkatan akademik dan kedewasaan intelektual. Semua itu adalah tanggung jawab kita semua, terutama para pendidik yang terlibat langsung dengan para siswa di institusi pendidikan.
Kesadaran ini akan menghantarkan kepekaan tarbawi kepada para "pendidik" bahwa tanggung jawab mereka bukan sekedar transfer ilmu dan ma'lumat saja. Akan tetapi mereka, para guru, memiliki mas'uliyah untuk menghantarkan para siswanya menjadi jail (generasi) muslim yang robbani, cerdas, pintar dan berakhlak karimah. Para guru senantiasa mengamati dan mengevaluasi perkembangan siswanya dari berbagai aspek di atas. Jika itu semua disadari dan dilakukan oleh para guru dan oleh kita semua, maka Insya Allah, generasi muslim dan para siswa tidak seperti yang kita khawatirkan selama ini. Generasi dan siswa-siswi yang terdidik dan terbina oleh sentuhan tangan-tangan profesional dan robbani, insya Allah akan menjadi "anasir taqyir" agen-agen perubah yang dapat menegakkan dinullah dan dapat mengharumkan peradaban Islam. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H