Euforia untuk merevitalisasi sistem pendidikan kita masih menyisakan suasana yang kontraproduktif yang menarik kita simak. mulai dari kesejarhtraan guru, hingga gonta-ganti kurikulum. Betapa tidak, dunia pendidikan di negeri ini selalu dirundung berbagai ironi. Hal itu terjadi karena selama ini dunia pendidikan selalu dipandang sebelah mata dan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Bahkan, yang paling ironis lagi adalah dunia pendidikan sudah menjadi budaya permainan para elite politik. Berbagai intervensi dan hegemoni politik terhadap dunia pendidikan menjadi komoditas politik yang keuntungannya tidak kembali kepada dunia pendidikan namun ke kantong kepentingan para elite politik itu sendiri.
Terlepas dari hal itu, indikasi keberhasilan sebuah pendidikan nasional adalah sejatinya terlihat pada dua variabel yakni frame kurikulum yang baik dan keberhasilan seorang guru mengajar (profesionalisme guru). Oleh karna itu, Guru dan kurikulum adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Keberhasilan atau kegagalan dari suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh dua faktor tersebut.
Kurikulum harus dapat mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat. Kurikulum harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat luas dalam menghadapi persoalan kehidupan kekinian yang dihadapi. Namun adanya fenomena Undur maju kurikulum pada saat ini akan berdampak pada dunia pendidikan secara sistematis, ini juga merupakan salah satu proses pendidikan yang belum matang.
Dengan adanya gonjang-ganjing perubahan kurikulum dari kurikulum 1947 hingga kurikulum 2013, dan adapula yang sebagian kembali ke kurikulim 2006, merupakan indikator konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Dari indikator tersebut yang banyak mempengaruhi adalah konsekuensi sistem politik. Idealnya beda mentri akan beda pijakan kurikulum untuk direalisasikan. Sehingga dimata pendidikan global pendidikan Indonesia berdasarkan data The Learning Curve Pearson 2014, Selasa (13/5/2014), sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, memaparkan jika Indonesia menduduki posisi bontot alias akhir dalam mutu pendidikan di seluruh dunia.
Fenomena diatas, mengajarkan bagaimana pemerintah harus selalu aktif meninjau kelembagaan dan organisasi intern dan isi kurikulum yang digunakan agar mendukung pertumbuhan masyarakat ilmiah yang menjunjung kemartabatan manusia. Idealnya Kurikulum tidak hanya dirancang untuk menghasilkan lulusan yang seragam dan massal, namun yang mampu menunjang kreativitas, sikap akademis, kepribadian dan kemandirian. Dalam perspektif yang lebih luas, tidak terjebak dalam pengkotakan ilmu, teknologi, seni yang terspesialisasi pada bidang-bidang tertentu secara kaku. Inilah yang terjadi dengan adanya perubahan kurikulum selama ini untuk membangun frame kurikulum yang baik. Tantangan ini hadir di tengah kekhawatiran akan realitas pendidikan kita saat ini, yang dinilai belum mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) berdaya-saing tinggi, di tengah persaingan global dan era pasar bebas
Untuk Semua perubahan kurikulum sangat menuntut kesiapan guru dalam menghadapi kurikulum tersebut. Jika tidak didukung oleh kesiapan guru, semuanya akan sia-sia sebagai seorang guru, alangkah bijaknya bila disikapinya dengan cara menyiapkan mental terhadap perubahan yang terjadi saat ini. Baik tidaknya sebuah kurikulum sebenarnya terletak di tangan guru. Pentingnya guru dapat dianalogikan degan Hakim dan Undang-Undang, maka kepentingan guru dipandang lebih penting dibanding dgn kurikulumnya. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa: “Berilah aku Hakim dan Jaksa yang baik, yang dengan Uundang-undang yg kurang baik sekalipun, aku akan dapat menghasilkan keputusan yg baik”. Ini dapat dianalogikan degan guru: “Berilah aku guru yangg baik, degan kurikulum yang kurang baik sekalipun,aku akan dapat menghasilkan peserta didik yang baik”. Hal tersebut berarti bahwa aspek Guru masih lebih penting dibandingkan kurikulumnya, karena guru menjadi orang yangg amat bertanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan kurikulumnya.
Efektivitas sebuah kurikulum tergantung kepada profesionalisme guru. Di tangan guru yang profesional, kurikulum yang tidak baik bisa menjadi baik. Dengan mentalitas, kreativitas, serta daya inovasinya, kurikulum yang kurang baik bisa menjadi efektif. Sebaliknya, sebaik apapun kurikulum tetapi guru tidak profesional, kurikulum tidak akan berarti apa-apa. Di tangan guru yang tidak profesional, kurikulum yang sebaik apa pun tidak akan terlaksana dengan efektif. Sehingga Guru adalah “Manbehind the Curriculum”, manusia yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kurikulum.
Guru profesional, akhirnya menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.
Sudah saatnya pemerintah untuk memprioritaskan membangun karakter guru profesional di bandingkan dengan merubah atau memperbaiki kurikulum, karna pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (sisiwa) untuk mencapai tujuan pendidikan. Interaksi guru seyogyanya telah terinclud dalam proses kurikulum, yakni Guru sebagai orang yang berkewajiban merencanakan pembelajaran (instruction palnning) selalu mengacu kepada komponen-komponen kurikulum yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H