Akhir -- akhir ini kita mendengar issue perubahan lingkungan, kampanye energi baru terbarukan, zero emisi dan lain sebagainya. Ditambah penguatan pasca pertemuan para pemimpin dunia di Glasglow, Skotlandia awal November 2021. Pertemuan yang disebut sebagai Conference of the Parties (COP) ke-26 (kemudian disebut COP26) yang membahas tentang perubahan iklim. Dimana ada konsekuensi yang harus diterima oleh negara-negara dalam membangun dan turut serta dalam menjaga iklim dunia tetap kondusif.
Konsekuensi yang perlu menjadi perhatian khusus bagi para negera -- negara yang masuk dalam G20 atau yang tidak masuk. Konsekuensi tersebut erat kaitannya dengan issue lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas industrial yang menjadi konsekuensi logisnya. Aktivitas industrial tersebut menicayakan adanya perubahan alokasi lahan yang semula merupakan lahan pertanian, perkebunan, kehutanan dan hayati lainnya menjadi areal industrial yang bertujuan untuk eskplorasi, ekspoitasi dan produksi serta logistik.
Semua aktivitas industrial tersebut berfokus kepada profitabilitas dan produktivitas sebuah korporasi. Fokus korporasi yang an sich pada profitabilitas dan produktivitas serta dilakukan secara sporadis seringkali menimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan yang berkepanjangan. Tak hanya itu saja, dampak ikremental yang cukup serius baik aspek sosial, ekonomi, Pendidikan maupun kesehatan seringkali sulit dikendalikan hingga berpotensi diabaikan. Mungkin hal tersebutlah yang menyebabkan Elkington pada tahun 1994 memperkenalkan apa yang disebut dengan konsep Triple Bottom Line. Sebuah konsep pengelolaan aktivitas organisasi atau lembaga yang berfokus kepada profit agar selalu memperhatikan aspek economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Â Â Â
Lalu bagaimana mengukur tanggung jawab korporasi dalam berkontribusi dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Tentu ada banya ukuran yang menjadi standar yang diterapkan oleh lembaga -- lembaga pemerhati lingkungan. Baik berbasis regulasi yang ada sesuai dengan Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan maupun undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal maupun berdasarkan standar internasional seperti ISO26000, 2010 tentang Corporate Secretary atau menggunakan GRI (Global Reporting Initiative).
Standar pelaksanaan tanggungjawab sosial tersebut merupakan komitmen korporasi untuk ikut serta dalam menjaga ekosistem dimana perusahaan atau aktivitas industry tersebut berada. Dengan demikian regulasi dan standar merupakan komitmen yang sudah menjadi keniscayaan bagi perusahaan dalam menjalankan aktivitas industrial. Bahwa ada persoalan pada pelaksanaannya, hal tersebut merupakan pekerjaan rumah yang perlu kita sama-sama perhatikan. Karena ada beberapa hal yang mempunyai konsekuensi hukum ada juga yang merupakan komitmen etik dalam menjalankan aktivitas industrialnya.
Konsekuensi yang bersifat hukum seperti halnya aktivitas industrial yang berpotensi merusak lingkungan dan ekosistem hayati. Aktivitas industrial tersebut biasanya berdampak langsung pada perubahan peruntukan lahan pada lingkungan dan ekosistem hayati akibat eksplorasi dan eksploitasi serta logistik. Sebagai contoh adalah bagaimana BP harus mengeluarkan biaya membersihkan tumpahan minyak Teluk Meksiko sehingga mengakibatkan raksasa perminyakan diperkirakan merugi sebesar US$4,9 miliar (sekitar Rp44.1 triliun) pada tahun 2010. Belum ditambah dengan implikasi yang secara tidak langsung berdampak pada aktivitas korporasi lainnya. Hal tersebut bisa menjadi lesson learn bagi setiap perusahaan dalam menjalankan aktivitas industrialnya, agar faktor lingkungan menjadi lebih diperhatikan. Sedang komitmen etik adalah hal -- hal yang menyangkut tanggung jawab perusahaan terhadap pertumbuhan ekonomi, Pendidikan, dan kesehatan masyarakat dimana lingkungan industrial berada.
Memotret aktivitas kolaborasi antara perusahaan dengan stakeholder tentu menjadi upaya dalam mewartakan komitmen perusahaan kepada khalayak ramai tentang implementasi tanggungjawab lingkungan dan sosial perusahaan. Kita bisa melihat bagaimana akhir-akhir ini perusahaan-perusahaan yang sudah melantai di bursa efek sudah mulai memotret aktivitas tersebut. Meskipun belum semua perusahaan yang melantai di bursa efek Indonesia belum memotret secara khusus aktivitas implementasi tanggungjawab lingkungan dan sosial perusahaan.
Perusahaan hanya memotret secara sekilas pada laporan akhir tahun atau Annual Report (AR). Tentu kedalaman potretnya tidak sedalam aktivitas yang sesungguhnya pada setiap entitas mengingat keterbatasan alokasi pada AR. Mengingat Disain AR harus memotret secara keseluruhan kinerja keuangan dan operasi perusahaa. Sehingga potret tanggung jawab lingkungan dan sosial perlu dibuat lebih fokus agar terlihat bagaimana perusahaan memberikan perhatian penuh kepada lingkungan dan sosial. Untuk itu, Sustainability Report menjadi media yang khusus untuk memaparkan aktivitas tanggungjawab lingkungan dan sosial agar perusahaan mampu menggambarkan aktivitasnya dengan baik.
Lalu apakah Sustainability Report (SR) itu, Sustainability Report atau laporan keberlanjutan adalah laporan berkala (biasanya tahunan) yang diterbitkan oleh perusahaan dengan tujuan berbagi tindakan dan hasil tanggung jawab sosial perusahaan mereka. Sustainability Report juga merupakan gambaran aktivitas perusahaan yang dalam mencapai target perusahaan selalu memperhatikan aspek risiko. Â Baik aspek bisnis yang secara langsung berdampak pada output dan juga aspek lingkungan serta stakeholder yang secara tidak langsung berdampak pada perusahaan. Semua itu yang mendasari pemotretan aktivitas tanggungjawab lingkungan dan sosial yang dilakukan oleh Perusahaan dalam Sustainability Report. Tak hanya itu saja, kerangka Sustainability Report dapat dengan mudah kita lihat pada standar GRI (Global Reporting Initiative). Namun demikian, format penulisan dan susunannya biasanya disesuaikan dengan kebutuhan setiap perusahaan. Hanya saja dalam Sustainability Report seringkali terdapat Pernyataan CEO yang secara singkat memperkenalkan visi dan landasan sustainability report, struktur tata kelola organisasi dan model bisnis, Konteks keberlanjutan, analisis SWOT, Penilaian dampak dapat dilakukan untuk mengidentifikasi dampak negatif utama organisasi dan risiko bisnis, Identifikasi pemangku kepentingan utama organisasi, Analisis materialitas, Tinjauan kinerja dari waktu ke waktu.
Harapannya dengan adanya potret tanggungjawab lingkungan dan sosial melalui Sustainability Report, Perusahaan mampu memberikan kontribusi bagi keberlangsungan bisnis dan lingkungan sekitar. Sehingga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkugan mampu berjalan secara beriringan. Untuk itu tak salah jika  Sustainability Report merupakan komitmen Perusahaan dalam menjaga etika bisnis. Sudah Perusahaan menerbitkan SR? semoga sudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H