Risalah Singkat Perjalanan dan Penanganan Perkara oleh MK
Mahkamah Konstitusi (MK) lahir diawali dengan diadopsinya ide Constitutional Court dalam amandemen ketiga UUD 1945 oleh MPR pada 2001, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945 yang disahkan 9 November 2001. Melalui UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, upaya menghadirkan lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi semakin terang. Pada 15 Agustus 2003, hakim konstitusi untuk pertama kalinya ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 dan pada 15 Oktober 2003 mulai beroperasinya kegiatan MK. [1]
MK lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir, putusannya bersifat final dan mengikat. Empat kewenangan dan satu kewajiban MK yang ditentukan UUD 1945 yaitu Pasal 24C ayat (1): (1) Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD; (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (3) Memutuskan pembubaran partai politik; (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU); dan (5) Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945.
Pada 5 tahun (2003-2008) sejak berdirinya, MK telah melaksanakan tiga dari empat kewenangannya yaitu menguji UU terhadap UUD; memutus SKLN yang kewenangannya diberikan oleh UUD; serta memutus PHPU termasuk PHPU kepala daerah. Pada laporan tahunan MK tahun 2008, registrasi berdasarkan jenis perkara berjumlah 252 perkara yaitu Pengujian Undang Undang (PUU) 169 perkara, PHPU 45 perkara, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU-KD) 27 perkara dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN 10) perkara.[2]
Dalam 10 tahun usia MK (2003-2013), tercatat 1.333 perkara telah ditangani. Persentase penyelesaian seluruh perkara di MK dari tahun ke tahun berjalan stabil, konsisten berada di kisaran 70% s/d 80% perkara yang diselesaikan tiap tahunnya. Hanya pada tahun 2003 saja angka penyelesaian cukup rendah, yakni 17%. Untuk persentase penyelesaian perkara tertinggi, terjadi pada 2004 yakni 87% atau 81 perkara dari 93 perkara yang ditangani pada tahun itu. Namun, jika dihitung dari jumlah perkara yang telah diputus saja, tanpa membandingkan persentase per tahun, maka penyelesaian perkara tahun 2010 adalah yang terbanyak, tercatat 285 perkara diselesaikan dalam satu tahun. Sedangkan untuk 2011 dan 2012 masing-masing menangani 138 perkara dan 112 perkara PHPU-KD, hingga pertengahan 2013 MK telah menangani 102 perkara PHPU-KD.[3]
Dalam 15 tahun (2003-2018), MK meregistrasi sebanyak 2.657 perkara. Ada 1.236 perkara PUU, 982 perkara PHPU-KD, 414 perkara PHP Legislatif DPR, DPD, DPRD dan Presiden/Wakil Presiden, serta 25 perkara SKLN. Berdasarkan data dari seluruh perkara tersebut, telah diputus sebanyak 2.620 perkara dengan rincian 393 perkara dikabulkan, 1.155 perkara ditolak, 873 perkara tidak dapat diterima, 23 perkara gugur, 154 perkara ditarik kembali, 13 perkara tindak lanjut putusan sela dan 9 perkara MK menyatakan tidak berwenang.[4] Menurut penulis, dari banyaknya perkara yang diputus oleh MK pada tahun 2017, salah satu yang penting adalah Putusan Nomor 93/PUUXV/2017, putusan ini memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang undang yang di uji di MA RI untuk wajib ditunda pemeriksaan pengujiannya bila batu uji undang-undangnya terhadap UUD 1945 sedang diuji di MK RI.
20 Tahun Catatan MK (2003-2022), berdasarkan kewenangannya MK telah memutus 29 perkara SKLN, 676 perkara PHPU, 1.136 perkara PHP Kada dan 1.622 perkara PUU. Pada tahun 2022 beberapa putusan MK yang dianggap penting, diantaranya:[5]
- MK kembali memutus norma syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam UU Pemilu adalah konstitusional. Sementara, berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) domain pembentuk undang undang.
- MK menegaskan bahwa Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, namun tidak diverifikasi secara faktual. Adapun terhadap partai politik yang (1) tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, (2) hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota; (3) tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, dan (4) partai politik baru, dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan faktual.
- MK menegaskan kembali dalam putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021 perihal pengujian Pasal 458 ayat (3) UU Pemilu, bahwa Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu. Adapun keputusan DKPP dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP dimaksud dengan mengajukan gugatan ke pengadilan TUN. Terhadap putusan pengadilan TUN yang telah Inkracht harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
- MK dalam amar Putusan Nomor 2/PUU-XX/2022 mengabulkan sebagian permohonan PUU Nomor 10 Tahun 2016 yang diajukan oleh mantan terpidana Psikotropika. MK menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi pelaku perbuatan tercela yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan telah selesai menjalani masa pidananya, serta secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana”.
- Penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam Per-KPU. Demikian inti dari Putusan Nomor 80/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materi UU Pemilu. Sebelumnya kewenangan tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
- MK dalam amar Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 MK menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. MK dalam putusan ini menegaskan bahwa pilkada adalah bagian dari pemilu. Konsekuensinya, memutus perselisihan hasil pilkada menjadi kewenangan MK.
Harapan Publik terhadap MK
Atas uraian singkat perjalanan 20 Tahun MK (2003-2022) di atas, jelas menunjukkan perkembangan dan kemajuan MK berjalan secara signifikan. Putusan-putusan MK telah menjadi tumpuan akhir bagi para pencari keadilan untuk mendapatkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan atas hukum yang berlaku namun merugikan hak-hak konstitusional warga negara. Memandang pentingnya peran sentral MK, maka pengharapan kepada MK juga semakin tinggi. Penulis menyampaikan harapan kepada MK untuk masa yang akan datang antara lain:
- Kebutuhan untuk memperjuangkan hak-hak konstitusional warga negara melalui judicial review di MK semakin tinggi, seharunya bimbingan teknis hukum acara MK harus diberikan seluas-luasnya kepada masyarakat. Mengapa ini penting, karena menjadi pemohon secara pribadi atau diwakilkan kepada kuasanya yang tidak selalu advokat, sepanjang pemahaman tentang hukum acara memadai, setiap warga negara bisa secara mandiri mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Ini wujud kemanfaatan atas hukum yang diberikan MK melalui pendidikan hukum.
- Sumbangsih nyata secara langsung MK merupakan harapan untuk menjangkau warga masyarakat secara merata. Dalam PMK Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Persidangan Jarak Jauh, telah diatur tentang mekanisme persidangan jarak jauh bagi para pihak yang berperkara. Namun patut menjadi catatan, selain para pihak dibebaskan untuk memilih tempat yang layak dalam mengikuti proses persidangan, baiknya MK juga memberikan alternatif tempat lain, misalnya bekerja sama dengan pengadilan negeri di setiap kabupaten/kota untuk menyediakan satu ruang khusus di pengadilan negeri dalam rangka pelaksanaan sidang daring MK. Mengapa ini penting, selain untuk memastikan bahwa para pihak mengikuti persidangan secara disiplin, persidangan daring yang difasilitasi oleh pengadilan negeri dari sisi fasilitas teleconference jauh lebih memadai, juga memberikan keamanan selama persidangan berlangsung bagi para pihak, guna sama menjaga kredibilitas, harkat dan martabat lembaga peradilan di MK RI.
- Kita semua mengetahui Kekuasaan Kehakiman bersifat merdeka dari segala bentuk usaha yang dapat mempengaruhi objektivitas hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Maka harapan penulis, ke depan seleksi calon-calon hakim MK harus keluar dari unsur politis, sehingga harkat dan martabat MK sebagai pengawal konstitusi tetap terus terjaga.
- Indonesia menganut asas korkondasi yang memiliki kitab-kitab aturan hukum (kodefikasi), maka harapannya untuk memudahkan masyarakat secara umum, perlu adanya kitab hukum acara mahkamah konstitusi. Sehingga mudah untuk dicari, dibaca secara runut dan sistematis guna mempelajari dan memahami aturan hukum acara mahkamah konstitusi. Saat ini hukum acara untuk menyelesaikan perkara di MK tersebar dalam beberapa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), seperti:
- PMK Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara PUU;
- PMK Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara PHPU Anggota DPR dan DPRD;
- PMK Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden.
- Keterangan perubahan PMK tidak up to date pada website JDIH MK, maka perlu dilakukan perbaikan pada publikasi PMK. Salah satu contohnya ketika pencarian aturan Tentang Tata Beracara Dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, yang muncul pada laman website JDIH MK adalah PMK Nomor 4 Tahun 2018 dan tercatat masih berlaku. Padahal PMK Nomor 4 Tahun 2018 telah "dicabut dan dinyatakan tidak berlaku" oleh PMK Nomor 4 Tahun 2023.
- Indonesia sedang bersiap menghadapi Pemilu pada 2024 mendatang secara serentak serta berbagai perkara lainnya yang juga harus diputus oleh MK, semoga Hakim-hakim MK dapat menjaga harkat dan martabatnya sebagai Wakil Tuhan di Muka Bumi yang melaksanakan amanah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam mengawal Konstitusi NKRI.
Referensi
- [1] Sejarah Terbentuknya MK, diakses Kamis 06 Juli 2023 Pukul 08.09 WIB
- [2] Menegakkan Keadilan Substantif, Laporan Tahunan MK 2008, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, Cet.1, Maret 2009, hal 6-8.
- [3] Jejak Langkah Satu Dasawarsa Mengawal Konstitusi 2003-2013, Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, Cet.1, Agustus 2013, hal 197-199.
- [4] Mengawal Daulat Rakyat, Laporan Tahunan MK 2018, Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, Cet.1, Januari 2019, hal 10-11.
- [5] Menata Sistem Demokrasi Konstitusional, Laporan Tahunan MK 2022, Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, Cet.1 Mei 2023, hal 12-17.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H