Hari ini sempat membaca beberapa buah spanduk di pinggir jalan kota (Ciawi) yang mengajak untuk peduli terhadap kemiskinan yang ada di negara lain, hanya karena merasa seumat.
Seorang anak yang mengenaskan dipakai sebagai propaganda belas kasihan. Entah spanduk itu berijin ataupun liar secara model periklanan paling tidak menimbulkan sebuah pemandangan yang nyangkut di otak, karena jarak beberapa meter spanduk tersebut di pasang. Sebuah gaya menghipnotis yang jamak dalam periklanan.
Yang ingin saya tekankan di sini adalah soal spirit kepedulian yang hanya sebatas seumat untuk mengumpulkan dana atas nama sebuah kemiskinan di luar negeri sana, walau di dalam negeri sendiri pun tidak kurang banyak yang seumat yang masih dalam ambang batas yang bisa dikatakan miskin. Coba sampean pikirkan? Ada yang terasa aneh gak?
Kebersamaan yang masih terbatas ini hanya menampakkan agoransi yang ada. Permainan ego begitu kental. Dan kalau tidak seumat maka tidak perlu perduli. Sebuah pandangan yang membatasi diri yang bahkan kegiatan itu bisa dianggap mulia. Membantu sesama adalah perbuatan yang sangat mulia, apalagi itu merupakan saudara. Namun yaitu tadi ada batas yang dijelaskan, saudara seumat.
Pemikiran sempit ini seringkali mendistorsi pandangan yang lebih luas sebagai saudara sebangsa. Saudara setanah air. Hidup bertemu dalam tetangga namun konyolnya memikirkan tetangga luar sana yang bahkan ketemu saja belum pernah, termakan propaganda ala jadul yang memakai kemiskinan sebagai sebuah jargon perjuangan kebersamaan.
Tidak atau jangan heran jika banyak sekarang ini sentimen soal paham hanya seumat ini kian kental mengemuka di ruang publik. Sebuah lampu merah bagi semangat akan sebuah rasa kebersamaan sebagai bangsa karena pandangan sempit tersebut.
Pandangan yang gagal "move on" ini bahkan akan menyalahpahami spirit kebersamaan yang lebih luas lagi, bahwa kita semua ini saudara dalam dunia yang maha luas ini. Dan kewajiban saling membantu serta menolong itu hal yang lumrah saja, namun ada baiknya tidak usah dibatasi dengan pemikiran bahwa hanya "seumat" yang wajib di tolong.
Spirit kebersamaan yang luas tanpa memandang keumatan bahkan lain negara pun memang akan menjadi sebuah trend bagi mereka yang membuka diri terhadap dunia global ini. Ruang-ruang terbatas wilayah sekarang mulai mencair. Manusia dari berbagai ras bisa saling berinteraksi, saling bertukar pikiran, dan saling mengisi dalam kebaikan bagi semua.
Semangat kebersamaan ini, yang mengambarkan kita semua ini saudara yang hidup di atas satu bumi yang sama, di bawah langit yang sama dan bersaudara dalam kemanusiaan itu telah pernah mewarnai peradaban di bumi Nusantara ini. Bacalah sejarah masuknya agama ke bumi pertiwi yang dibawa dalam pelayaran perdagangan antar negara sejak zaman dulu, bahkan dulu Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan yang memiliki universitas terbesar dimana banyak pelajar luar negeri belajar di sana.
Semangat kebersamaan yang menghargai perbedaan itu adalah sebuah modal kekayaan Nusantara ini. Janganlah dipersempit spanduk yang hanya mempropandakan seumat dalam rangka mencari sumbangan sukarela dengan alasan rasa kasihan semata.
Marilah membuka pikiran dan pandangan, merasakan penerimaan seperti bumi ini serta memandang keluasan tanpa batas laksana langit dan tetap bergandengan tangan dalam persaudaraan seumat manusia yang merupakan pengejawantahan cinta dari Dia Yang Maha Cinta.