Sebuah Wacana : Si Pitung, Jokowi dan Bunga Wijayakusuma
" Teruslah...sampai suatu saat tiba...sekali waktu, entah kapan...pasti datang kekuatan kebaikan."
~ Jokowi ( 19 Agustus 2013,23:28 WIB via twitter @Jokowi_do2 )
Kemarin Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan ( PDI-P ) resmi mendeklarasikan Joko Widodo ( Jokowi ) sebagai Calon Presiden periode 2014-2019.
Mendengar hal tersebut, saya merasakan suatu luapan kegembiraan yang aneh, sebuah kegembiraan dicampur dengan keharuan yang sentimentil. Sebuah luapan perasaan yang lama tidak ada dalam melihat dunia perpolitikan di tanah air Indonesia.
Si Pitung
Masyarakat Betawi pasti sudah kenal dengan sosok pejuang ini. Sosok ini digunakan Jokowi sebagai simbol perlawanan? Kenapa Jokowi memilih Si Pitung? Kenapa tidak Bung Karno? Yang sedikit banyak merupakan inspirasi hidup bagi Jokowi sendiri.
Mengutip dari Kompas.com (14/03)
" Di sana, dia menjelaskan mengapa deklarasi capres di Rumah Pitung. "Karena itu simbol perlawanan," jawabnya.
Saya jadi bertanya-tanya, simbol perlawanan terhadap siapa? Apakah kita masih "terjajah" jadi mesti melawan ?
Untuk itu marilah sejenak kita menengok sejarah dari Si Pitung, Sang Jagoan dari Betawi ini.
Kisah Si Pitung menggambarkan sosok pendekar Jakarta dalam menghadapi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa Hindia Belanda pada masa itu. Kisah ini diyakini nyata keberadaannya oleh para tokoh masyarakat Betawi terutama di daerah Kampung Marunda di mana terdapat Rumah dan Masjid lama.
Sejarah Si Pitung
Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda. Cerita si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian legenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah Legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.
Tempat Lahir
Si Pitung lahir di daerah Pengumben, di sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin, seorang pedagang kambing.
Nama Asli Si Pitung
Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari bahasa Sunda pitulung (minta tolong atau penolong). Kemudian, nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).
Awal Legenda
Menurut versi van Till (1996) si Pitung merupakan seorang kriminal, diawali ketika si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang yang kemudian dicuri oleh para “centeng” (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah.Si Pitung kembali pulang dengan tangan hampa, namun si Pitung hanya tersenyum dan menjawab bahwa dia telah dirampok. Ayah Pitung yang marah kemudian menyuruh Pitung pergi mencari uang tersebut dan akhirnya dapat menemukannya kembali. Namun, para pencuri alias "centeng" tersebut mengajak Pitung untuk bergabung sebagai perampok dan menjadi ketua mereka. Pada awalnya Pitung menolak, tetapi akhirnya Pitung bergabung dengan mereka. Legenda yang dikisahkan dalam film Si Pitung, Pitung dan kawanannya menggunakan cara yang “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung, Pitung disebut sebagai "Demang Mester Cornelis"–Wilayah Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara, merupakan bagian dari Kota Jakarta Timur–dan Dji-ih sebagai “Opas”). Kemudian, mereka melakukan penipuan dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya membawa lari uang tersebut.
Akibat dari hal ini, si Pitung dan kawanannya menjadi buronan “kompenie”. Hal ini menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Van Heyne (Schout Van Heyne, Van Heijna, Scothena, atau Tuan Sekotena). Secara resmi, menurut Van Till (1996), nama petugas polisi tersebut bernama A.W. Van Hinne yang pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. Menurut catatan kepolisian Belanda, Van Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belanda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia. Van Hinne menderita sakit yang serius sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada akhir tahun 1880, Van Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia (Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274). Van Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan ka-Demangan Meester Cornelis.. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu bebas dengan kekuatan sihir, tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Kemudian, Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung. Akhirnya, diketahui kesaktian tersebut berupa “jimat”, sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diragukan kebenarannya. Tetapi menurut versi film Si Pitung Banteng Betawi (1971), ia dikhianati oleh Somad yang memberitahukan kelemahan Pitung untuk mengambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil “Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena sesorang melemparkan telur. Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas). Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari kubur. Hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996):
Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya
Pitung Robin Hood ala Betawi
Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):
Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.'
Pitung yang menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996). Karmani menulis novel Si Pitung. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial.
Menurut Rahmat Ali, 'Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal' (Rahmat Ali 1993:7).
Beragam pro dan kontra ]menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu, yaitu Belanda. Apakah hal ini benar atau tidak, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.( Sumber : Wikipedia.org )
Indonesia Jaya
Sore itu saya menyaksikan berkembangnya bunga Wijayakusuma, bunga yang menjadi simbol kejayaan, bunga yang menyiratkan suatu keberkahan.
Dan saya meyakini suatu hal akan saling keterkaitan dari alam ini, energi yang saling terhubung yang dapat melampaui ruang dan waktu. Sebuah mimpi.
Inilah sebuah mimpi masa depan bangsa ini.
Anand Krishna, seorang tokoh humanis lintas agama mengungkapkan hal ini jauh-jauh hari ( kurang-lebih 9 tahun yang lalu ) dalam bukunya "BagiMu Ibu Pertiwi" ( PT One Earth Media, Mei 2005),
" Bermimpilah, tetapi tidak bermimpi dalam tidur. Bermimpilah dalam keadaan sadar, mimpikan Indonesia Baru, Indonesia Utuh, Indonesia Satu, Indonesia Damai, Sejahtera, dan Sentosa.
Dan kemudian berkaryalah demi terwujudnya mimpimu." (Halaman 175)
" Indonesia baru membutuhkan orang-orang berjiwa Satria Tulen. Bila keberanian seorang Arjuna bertemu dengan Kesadaran Krishna, maka kemenangan sudah dapat dipastikan. Indonesia Jaya, Sekali Jaya, Tetap Jaya..." (Halaman 199).
Saatnya kembang kejayaan mekar di hati anak-anak bangsa ini. Kita membutuhkan lebih banyak sosok "Jokowi" yang mempunyai etos kerja yang tinggi dan ketulusan berbakti pada Sang Merah Putih. Kepada Ibu Pertiwi Indonesia.
"Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan," kata Jokowi lagi.
Kemudian, Jokowi mencium bendera Merah Putih yang ada di belakangnya.(Kompas.com 14/03)
Mari kita kawal dan jaga semangat dan spirit jiwa kebangsaan kita yang mulai mekar dan semoga keharumannya menyebar ke seantero dunia, biarlah dunia mengetahui betapa Indonesia adalah mercu suar bagi kebudayaan dan peradaban dunia.
Terberkatilah kita semua yang lahir di bumi Nusantara ini, saatnya kita mensyukuri dengan bekerja dengan semangat gotong-royong dan kerja tanpa pamrih.
Mari bergandengan tangan mewujudkan Indonesia Baru, Indonesia Jaya...
Bukit Pelangi, 15 Maret 2014
Rahayu...
—
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H