Mohon tunggu...
Sunu Purnama
Sunu Purnama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pria sederhana yang mencintai dunia sastra kehidupan.

mengapresiasi dunia...lewat rangkaian kata...^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meninggalkan Kebaikan

31 Oktober 2014   01:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Jangan terlalu banyak melamun,Le...itu tidak baik buat kamu. Isilah waktumu dengan baik. Banyaklah membaca sehingga membuka wawasan dan bisa meluaskan cara pandang. "Ujar simbah yang masih trengginas di usianya yang sudah mendekati 3/4 abad itu.
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala dengan tak sabar. Sudah untuk kesekian kali nasehat itu terlontar dari bibir keriput simbah, namun tak juga membuatku bisa berubah. Nasehatnya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Namun simbah akan selalu memberi nasehat, setiap aku mampir ke rumahnya yang bersebelahan dengan rumahku, yang dulu adalah juga rumah simbah sendiri, namun telah ditempati kami sekeluarga, aku, saudaraku dan orang tuaku.
Aku ingat dulu rumahku itu merupakan hasil keringat dari simbah yang rajin bekerja mengumpulkan uang hasil meronce rambut. Ya, Simbahku pekerjaannya menjalin rambut-rambut hasil potongan dari salon.Mungkin terdengar agak aneh juga, namun ini adalah seperti home indutri dimana rambut dari salon dipilih dan dipilah kemudian dijalin satu sama lain sehingga membentuk menyerupai pohon cemara, yang dipakai buat tambahan gelungan rambut. Namun kami anak dan cucu beliau tidak pernah tertarik untuk meneruskan "bisnis" ini. Tidak menarik dan aneh saja mungkin yang jadi penyebabnya.
Kalau sudah ada pesanan, beliau akan duduk diam, entah sambil memikirkan apa? Betah sekali sampai malam larut baru istirahat ketika matanya sudah berat sekali untuk terbuka.
Setiap memperhatikan simbah yang hidup sendiri, sepeninggal kakek yang sakit karena liver, aku melihat kemandirian yang melekat di dirinya. Beliau tidak mau membebani keluargaku dengan hanya diam berpangku tangan.
Dengan uang pensiunan Veteran pejuang kemerdekaan yang ada, simbah menyambung hidup dan juga pemasukan dari meronce rambut untuk dijadikan gelungan. Simbah selalu baik hati memberi aku uang jajan.
" Hidup itu hanya sementara saja. Kita tidak tahu pasti kapan akan dipanggil oleh yang Kuasa. Perbanyaklah berbuat kebaikan dan kebajikan meskipun kecil. Jangan menyusahkan orang lain. Hiduplah dengan apa adanya, sederhana sesuai kemampuan diri," kata Simbah lain hari ketika aku mengunjungi beliau sehabis menyelesaikan sholatnya.
Disediakannya teh dan goreng pisang untuk menemani duduk bengong sore itu sambil menonton siaran televisi yang saat itu sedang menyiarkan berita,"Seorang pelawak ditangkap Bareskrim karena kedapatan membawa Sabu-sabu seberat 1,6 gram."
" Itulah Le...pergaulan itu penting sekali. Jagalah pergaulanmu. Hindarilah mereka yang sukanya menghasut dan mengeluh saja. Berkumpullah dengan mereka yang mempunyai hati dan wawasan terbuka.
Berhati-hatilah selalu jangan sampai karena pergaulan engkau mendapatkan malu dan hidupmu menjadi sengsara seperti pelawak itu."
Ujar simbah sambil menikmati teh panas yang masih mengepul.
Aku kembali mengangguk seperti biasanya. Seperti boneka yang tak bernyawa, manggut-manggut sekenanya.
" Hidup adalah kesempatan untuk belajar banyak hal. Bahkan ketika engkau mengganggur, nongkrong di kursi di rumah simbahpun adalah juga sebuah proses untuk belajar. Hanya dibutuhkan kesadaran dan kewaspadaan saja. Segala sesuatu itu berubah. Alam selalu mengalami perubahan. Mengikuti gerak alam maka hidup akan ikut berkembang dan maju." Sambung Simbah kembali.
Dan untuk kesekian kalinya pula aku yang mendengar pengulangan nasehat yang sudah ribuan kali itu menganggukkan kepala.
Sampai pada suatu ketika. Sore yang seperti biasanya. Aku mengunjungi simbah yang aku lihat sedang menegakkan sholat diruang tamu dengan sajadah coklat tua polos tanpa ornamen sama sekali. Aku masuk saja dan duduk di bangku seperti biasanya.
Namun kali ini, setelah sholat selesai dan seperti biasanya aku disuguhi teh panas, namun sekarang tidak ada gorengan pisang maupun ubi. Hanya teh saja.
Dan tidak ada nasehat spontan yang keluar dari mulut simbah. Ada sunyi yang panjang aku rasakan.
"Ada apa,mbah...Panjenengan baik-baik saja,khan?" tanyaku pada beliau.
"Tidak ada apa-apa kok le..."
Dan sunyi yang panjang kembali datang. Aku lihat simbah asyik dengan ronceannya. Tangannya cekatan menjalin rambut-rambut itu dengan telaten.
Senja sudah mulai datang. Gelap merayap perlahan dan kemudian aku berpamitan untuk mandi, meninggalkan Simbah yang sedang asyik sendirian.
Dan malam harinya, aku merasakan hawa yang aneh. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Ada suasana sedikit angker atau mendekati mistis yang terasa.
"Apakah ini semacam pertanda alam?" batinku di antara sadar dan tidur.
Dan keesokan paginya, kehebohan melanda kampungku. Simbah telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Dan aku tidak kuasa menahan linangan air mata kesedihan.
Kesedihan yang lahir dari kehilangan. Kehilangan nasehat dan petuah yang meskipun kelihatannya membosankan namun ternyata sangat berguna, kehilangan teman minum teh sore hari, kehilangan pemberi uang jajan.
Kehilangan-kehilangan itulah yang aku tangisi. Bukan karena simbah meninggal. Sekali lagi bukan itu! Aku mengikhlaskan kematian beliau. Aku meyakini bahwa kebaikan dan amalan kebajikannya akan menuntun dan memandu perjalanan jiwa beliau.
Tetangga mulai berdatangan. Segala uba rampe pemakaman segera disiapkan. Meja dan kursi kamar tamu dikeluarkan sehingga dapat leluasa untuk tempat jasad beliau.
Aroma melati mulai terasa memenuhi kamar tamu. Tetangga dengan sigap dan cekatan melakukan apapun terkait prosesesi pemakaman, mulai dari memandikan jenasah, mengkafani, merapalkan doa dan nanti di makamkan di makam keluarga.
Semua dikerjakan dengan semangat membantu, bergotong-royong tanpa pamrih.
Ikatan komunal yang selalu membuatku tersenyum bahagia mengenang kebersamaan itu. Dalam arena kematian semuanya membantu sebagai artian mahluk sosial yang saling mendukung dan membutuhkan.
Bahkan dalam kematian simbahpun, aku melihat pamor kebaikan yang telah dilakukannya semasa kehidupan beliau, persinggahan beliau di kampung ini.
Perasaan keberuntungan itu bergelanyut di hatiku di sela-sela aura kematian berbau aroma melati yang mistis.
Bukit Pelangi,
30 Oktober 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun