Mohon tunggu...
Sunu Purnama
Sunu Purnama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pria sederhana yang mencintai dunia sastra kehidupan.

mengapresiasi dunia...lewat rangkaian kata...^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sulastri, Guru Matematika yang Baik Hati

25 September 2014   13:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:35 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen : Sulastri , Guru Matematika Yang Baik Hati.
" Tawa dan tangismu akan berlebihan bila kau lupa bahwa hidup hanyalah #akting dari naskah semesta yang belum sanggup kau baca"
~ @ Arya Sujiwo Tedjo
Pagi masih gelap dan dingin diluar rumahnya, namun Sulastri sudah bangun. Kebiasaan bangun pagi ini didapatnya dari orang tuanya. Mereka mengajarkan bahwa pagi adalah harapan. Pagi adalah sebuah moment baru yang menyegarkan. Saat pagi, sebelum matahari menampakkan diri adalah saat yang meneduhkan jiwa.
"Awalilah dengan doa syukur,nak...Pujilah Gusti Pangeran. Panjatkan ucapan terima-kasih dan memohonlah kekuatan dan berkah untuk menjalani hari ini dalam langkah kebaikan, langkah kemuliaan manusia, seperti apa yang dilakukan Kanjeng Nabi,"demikian petuah Bapaknya yang masih diingatnya.
Meskipun sekarang sudah berkepala lima dan anaknya sudah besar dan sudah mandiri, namun ajaran mulia Bapaknya itu tidak pernah luntur di hatinya. Dan itulah pula yang diajarkan kepada anak tunggalnya, Dewi Sekar Maharani.
Melihat anaknya menjadi orang yang sukses menjadi designer dan telah memiliki butik sendiri dengan nama " Sekar Jagat". Sulastri merasa bangga dan puas sebagai seorang ibu.
Meskipun profesi guru matematika yang diembannya masih juga dijalaninya.
Menjadi guru adalah panggilan jiwanya. Menjadi guru baginya bukan sekedar berbagi pengetahuan dan transfer soal tanya-jawab semata, namun adalah sebuah arena untuk menumbuhkembangkan potensi anak-anak didiknya, apalagi dalam mata pelajaran matematika.
Setelah bertahun-tahun mengajar Sulastri menjadi sadar, bahwa seorang guru juga harus terus belajar menyempurnakan diri. Berbekal pengalaman itulah seringkali dia melakukan improvisasi-improvisasi yang seringkali membuat dia harus mengalami ejekan dan gugatan, baik dari anak didik, orang tua didik maupun teman-teman gurunya sendiri.
" Nak...ikutilah apa kata hatimu. Dengarkanlah petunjuknya dengan keyakinan hati. Mungkin di mata dunia luar akan terlihat keliru, tidak benar. Bertahanlah! Yakinilah suara hatimu. Itulah guru yang tak nampak," demikian Bapaknya suatu kali menasehatinya ketika baru beberapa tahun Sulastri mengajar sebagai guru matematika. Dan berniat keluar sebagai guru karena sebuah masalah yang terjadi, bukan karena masalah perkalian 4 X 6 apakah sama dengan 6 X 4, bukan itu! Dan juga bukan karena masalah gaji guru yang relatif kecil.
Dan benar mengikuti nasehat Bapaknya itu membuat Sulastri berani menempuh jalan dan mengambil profesi jadi guru, meskipun dia sebenarnya kuliah di jurusan perpajakan.
Dengan kelulusan yang Cumlaude dirinya yakin bisa bekerja di perpajakan dan menjadi orang berhasil dalam segi materi. Karena sektor pajak adalah sektor yang sangat basah. Namun Sulastri tidak bisa membohongi kata hatinya. Dia tidak akan membuat jiwanya merana meskipun nanti bergelimang harta, seperti teman-teman kuliahnya sekarang.
Mungkin inilah idealismenya yang masih teguh dipegangnya,"Kejujuran adalah barang mahal harganya, dan tak bisa ditukar dengan apapun"
*********
Wartono terlihat lesu, tidak bergairah mengikuti pelajaran. Apalagi siang ini panas terik sekali. Hawanya membawanya ingin sekali tidur siang. Mulutnya sudah menguap beberapa kali. Dan kepalanya sudah mulai berat sebelah namun ditahan-tahannya sebisanya, sebab bila ketahuan Pak Pangat, Guru Fisika Killer itu bisa-bisa penghapus melayang kekepalanya.
Hari ini memang berat bagi Wartono, soalnya, Ibunya kemarin mendapat kecelakaan, meskipun tidak terlalu parah. Namun tetap saja mempengaruhi dirinya. Dan harus merawat Ibunya, bahkan sampai tidurnyapun terganggu dan hanya sebentar sekali. Setiap kali Ibunya meminta bantuannya mengganti kompres di kepalanya. Suhu tubuh Ibunya sangat tinggi, namun kata dokter bukan hal yang berbahaya, itu hanya reaksi obat dan luka infeksi saja. Setelah 2 atau 3 hari akan kembali normal.
Itulah kenapa hari ini dirasakannya serangan kantuknya begitu hebat menyerang matanya, dan celakanya hari ini ada les matematika Bu Sulastri.
*********
Kelas les matematika sudah akan di mulai. Wartono mencari tempat duduk dipojokan ruangan dekat jendela yang menghadap tanah lapang yang biasa dipakai untuk Upacara Bendera setiap hari Senin.
Sinar matahari sore memantul di kaca jendela. Namun cahayanya semakin lama makin redup, seperti mata Wartono yang sudah tidak tahan lagi.
Joko yang duduk disampingnya hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum melihat wajah Wartono yang sudah tengkurap di meja. Setetes air liur menghias buku tulis matematikanya.
Sulastri yang saat itu sedang mengajarkan tentang Cos, Sinus dan Tangen, melihat anak didiknya itu tertidur namun didiamkan saja. Dibiarkan Wartono bermimpi berhitung di alam sana.
Dan Sulastri berusaha memahami apa yang terjadi. Kadangkala dia beranggapan juga bahwa kurikulum sekolah yang ditetapkan dari pusat itu terlalu berat dicerna oleh anak-anak didiknya.
Dia mengerti bahwa setiap anak membawa potensi diri yang berbeda-beda. Dia paham Wartono tidak suka dengan pelajaran matematika, karena setiap ujian matematika maka nilai yang tertinggi adalah 6.
Namun dalam bidang olahraga, dia jago sekali, dan pernah mewakili sekolah dalam lomba lari sekecamatan dan mendapatkan juara kedua.
Namun Sulastri juga tidak bisa membiarkan begitu saja anak didiknya tidur seenaknya di kelas. Maka untuk itu, setelah waktu pelajaran les tambahan selesai maka anak-anak dimintanya berdoa dalam hati, dan pulang keluar dengan hati-hati tanpa mengganggu Wartono yang pulas tertidur.
Hanya pintunya ditutup tapi tidak dikunci. Lalu Sulastri meminta kepada Pak Sarifudin, penjaga sekolah untuk menitip Wartono, dan minta tidak usah dibangunkan.
*********
Ruangan kelas sudah mulai gelap. Sayup-sayup dikejauhan terdengar suara Adzan Maghrib. Wartono pelan-pelan membuka matanya dan terkejut sekali mendapati dirinya sendiri di ruang kelas. Dalam sekian menit, Wartono kehilangan orintasi tentang waktu," Ah...aku ketiduran sampai hampir mahgrib," batinnya malu dan menyesali diri.
Besuk paginya, Bu Sulastri masuk kelas, Wartono merasa bersalah dan takut sekali. Bu Sulastri bertanya," Pulang jam berapa ? "
" Jam 6 sore,Bu."
" Ya...sudah lain kali jangan diulangi lagi," lanjut Bu Sulastri dengan tersenyum.
******
"Senengnya menjadi guru itu ada guyonan, lucu-lucuan, marah-marahnya," kata Bu Sulastri suatu sore ketika sekolah libur.
" Banyak rasa yang diperoleh, nano-nano seperti permen,"imbuhnya sambil mengambil pisang goreng.
Pak Guru Jaelani yang sedang bersilahtuhrohim ke rumah Bu Sulastri hanya bisa mengangguk dan mengiyakan saja.
" Hidup menjadi guru memang penuh suka-duka ya bu, namun kita pastinya berbangga dan berbahagia kalau anak didik kita sukses. Lihatlah itu si Joko anak tukang mebel, sekarang mau menjadi Presiden kita. Paling tidak kita berperan serta membentuk anak-anak bangsa yang berguna. Betapa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa,kan?"
Bu Sulastri menganggukkan kepala dan tersenyum, dan terbayang di pikirannya wajah Wartono, yang sekarang menjadi Atlet SeaGame dalam lomba lari Marathon.
" Nak...smoga engkau sukses membawa bangsa ini meraih medali emas,"doa Bu Sulastri dalam hati.
Bukit Pelangi, 24 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun