Mohon tunggu...
Sunu Purnama
Sunu Purnama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pria sederhana yang mencintai dunia sastra kehidupan.

mengapresiasi dunia...lewat rangkaian kata...^^

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Arus Balik Pemikiran Pram

22 Desember 2014   11:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:44 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang desa yang dipaksa oleh keadaan, dan terobsesi dengan ajaran-ajaran guru tentang sebuah makna memanggil kembali kejayaan Nusantara,

" Ia jawab pandang mata bawahannya dengan senyum ramah. Ia dekati mereka dan dengarkan kata-kata mereka dengan perhatian. Ia tanyai mereka yang murung. Ia ajak bicara mereka yang nampak termenung-menung mengenangkan yang tertinggal di rumah.Ia berusaha menjadi sahabat untuk semua mereka,seorang sahabat yang memperhatikan." (Hal: 185)
" Dari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi kebesaran untuk Tuban merupakan riwayat pergolakan jiwa yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. Dua-duanya terus juga jalin-menjalin, pilin-berpilin dalam hatinya. Ia selalu berusaha berada dalam keadaan was-was dan waspada." (Hal:186)
Namun memanggil kejayaan masa lalu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, benturan pemahaman mulai muncul,

" Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam menghormati dewa mereka. Tetapi ada juga segolongan kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka. Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang membenci kejayaan golongan Islam. Pertentangan-pertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang lunak jadi keras, yang kadang menjadi sering, dari mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antar golongan. (Hal: 215)

Dan ketika ajaran dari Atas Angin yang di bawa oleh pedagang Arab telah merasuki masyarakat, maka timbul perselisihan yang tak bisa dihindari,
" Di sini, Tuan, petani yang sebodoh-bodohnya tak akan menganiaya bininya kecuali dia memang sudah gila. Jangan bicara dulu. Di sini, Tuan, seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya seorang istri Tuan, mengganggap suaminya bukan hanya sebagai suami saja, juga sebagai gurunya dan sebagai dewanya sekaligus. Tuan orang asing disini. Sahaya sampaikan ini agar Tuan mengerti, karena semua itu mungkin tak ada dalam ajaran Tuan." (Hal: 317)

Kebudayaan Jawa menjadi tumpul dan kehilangan perbawanya,
" Darah ningrat Jawa sudah kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah habis di dalam keputrian." (Hal : 349)
Pergolakan Batin Sang Adipati Tuban, membawanya pada permenungan tentang ajaran leluhur tinggalan Majapahit,
" Terhadap keamanan jiwanya pribadi ia tak pernah punya was-was. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada penguasa yang lain telah membangunkan sikap batin satria: hanya ada satu macam maut dengan tiga nilai, tak kurang dan tidak lebih. Nilai pertama dan terpuji adalah maut karena lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah karena kehormatan sebagai satria, di medan perang dan di mana saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah karena hukuman dan tidak dengan keris. Dan seorang satria hanya dapat mengambil dua nilai yang sebelumnya terakhir. Setiap saat ia bersedia mati karena usia maupun karena kehormatan. Ia tak pernah punya keraguan." (Hal: 355)
Masuknya Arus Budaya Islam
" Bagi Trenggono sendiri kemenangan atas Tuban menjadi petaruh untuk gerakan militer selanjutnya. Dari Tubanlah seluruh Jawa Timur akan dikuasai. Dari sini akan ditumpas Blambangan sebagaimana halnya dari Sunda Kelapa akan ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi Islam atas namanya. Dan Islam, menurut Fatahillah yang kemudian juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari Peranggi." (Hal: 572)
Demikianlah, Demak sebagai kerajaan Islam melakukan propaganda dan penyebaran ajaran Islam lewat para musafir-musafir yang dikirim ke daerah-daerah, ke kampung-kampung di seluruh pelosok Nusantara untuk mengIslamkan mereka yang dianggap Kafir,
" Ia ulurkan tangan untuk dicium Gelar, tetapi bocah itu tak mengenal adat itu. Gelar mengangkat sembah dada.
Kekafiran, kemudian ia berjalan kaki keluar dari hutan." masih berkuasa atas mereka, keluhnya"(Hal:596)
Kegagalan Anak Desa
Ketika Nusantara yang terdiri dari lautan luas menjadi kehilangan kendali atas kapal dan pelayarannya sebaiknya kita menengok sebuah ajaran dari Ibu dari Adipati Unus,
" Bukan hanya tanah, seluruh alam diserahkan oleh Allah pada manusia. Kalau orang tak tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali Allah sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar. Barangsiapa kehilangan air, dia kehilangan darat, barang siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa, Unus yang mengatakan itu,"kat Gusti Ratu Aisah. (Hal: 469)
Dan ternyata penyatuan Nusantara belum membuahkan hasil yang bagus,
Bagi seorang Wiranggaleng, obsesinya memanggil kejayaan masa lalu masih jauh,
" Aku sedar tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesedaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu,bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua kuserahkan pada kalian." (Hal: 749)
Dan Rama Cluring yang meninggal karena di racun itu masih menggaungkan pesannya, pesan kebajikan yang telah disampaikannya sebagai dharmanya sebagai seorang guru pembicara,
"Kalian datang padaku untuk apa? Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara. Seorang diri aku berseru-seru : Jangan biarkan anak-anak kalian tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: lawan kemerosotan. Lebih dua puluh tahun aku bicara. Tetapi orang masih juga tak mau mengerti." (Hal: 537)
" Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. Tapi macam cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada kebebalan adalah juga kebebalan." (Hal: 5)
" Mengapa kalian terdiam? Kerajaan besar telah runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tumbuh di mana-mana. Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan baru: Demak. Dewa-dewanya bukan dewa kalian, dan tidak mengenal dewa kalian. Hei, kalian yang suka jadi bebal, kelak kalau Demak mulai menyerang kalian, memburu dewa-dewa kalian, menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur kalianpun tak aman lagi tinggal di khayangan, dan kalian sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa tak sempat diruwat oleh anak - cucu sendiri. Pada waktu itu aku telah lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar kata-katamu, Rama Cluring." (Hal:512)
Buku terbitan Hasta Mitra yang merupakan Cetakan ke V Maret tahun 2002 merupakan novel sejarah yang sungguh menarik. Menghidupkan kembali nostalgia akan kekuatan Maritim Nusantara.
Akankah arus arah angin itu kembali lagi?!
Bukit Pelangi,
Senin, 22 Desember 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun