Masa kini, sangat jamak kita melihat nama merk produk terpampang di pusat perbelanjaan. Sekilas namanya seperti produk asing, tapi kenyataannya ternyata produk dalam negeri. Tak hanya itu, saat kita ingin makan maupun minum di beberapa rumah makan nama menu pun terlihat tak lagi terlihat menggunakan bahasa Indonesia. Ice tea, black coffee, fried chicken, dan lain-lain adalah sinyalemen sebuah anggapan bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang menjual dari sisi ekonomi.
Permasalahan ini nampaknya menjadi suatu sinyal bahwa bahasa Indonesia belum menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Masyarakat cenderung lebih tertarik menggunakan bahasa asing untuk aktivitas ekonomi mereka. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa menamai produk mereka dengan bahasa asing jauh lebih keren dan lebih menjual dari pada bahasa Indonesia.
Perpres 63 tahun 2019 tentang penggunaan bahasa Indonesia, pada pasal 35 ayat 1 berbunyi: "Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama merek dagang yang berupa kata atau gabungan kata yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia." Perpres ini menegaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia pada nama merk maupun produk adalah suatu hal yang patut untuk kita lakukan.
Sudah saatnya tren negatif tentang penamaan ini mulai berubah. Sudah saatnya masyarakat pelaku ekonomi melihat bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang juga harus dipelihara dan dijunjung tinggi. Sudah saatnya bahwa kita bangga bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H