Beberapa waktu belakangan ini sedang heboh dengan berita standar soal Ujian Nasional yang dipersulit dengan memakai standar Finlandia dan adopsi soal-soal dari PISA dan TIMSS (bahkan ada yang membuktikan bahwa soal-soal tersebut hanya ‘copy-paste’ alias plagiat). Ditambah lagi, pada saat hari ke-2 UN SMP ada seorang siswi SMP di Bali yang bunuh diri hanya karena ia tidak bisa mengerjakan soal UN Matematika, padahal ia adalah siswi yang berprestasi di sekolahnya. Saya sendiri juga salah satu peserta UN SMA tahun 2014 ini, yang juga merasakan bagaimana sulitnya soal UN tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Selama duduk di kelas 12 ini, saya sering sekali mengerjakan contoh-contoh UN dari tahun-tahun sebelumnya, baik di sekolah maupun di tempat bimbingan belajar yang saya ikuti. Bisa dibilang, saya bukanlah siswi yang berprestasi di sekolah, kalaupun berprestasi saya hanya mendapat peringkat 5 besar. Saya sangat lemah di pelajaran Matematika, maka dari itu saya sering sekali meminta diskusi tambahan pelajaran Matematika di tempat bimbingan belajar saya. Beberapa hari sebelum UN, saya sudah merasa optimis, bahwa saya pasti bisa mengerjakan soal-soal UN pada saat hari-H. Saya berpikir, apa gunanya saya pulang sekolah setiap hari pukul 17:30 dan mengikuti bimbingan belajar tambahan sampai larut malam jika pada akhirnya saya tidak bisa mengerjakan soal-soal UN? Namun, ternyata kenyataan diluar pemikiran saya, ketika saya mulai mengerjakan soal UN Geografi pada hari pertama. Saya menemukan kira-kira 5 buah soal yang belum pernah saya pelajari baik di sekolah maupun di bimbingan belajar. Pada hari kedua (UN pelajaran Matematika dan Sosiologi) saya semakin pesimis, saya hanya bisa menjawab kurang lebih 15 soal Matematika dari 40 soal yang diujikan. Dan pada hari itu juga, saya mendapat berita bahwa M. Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) berkicau di Twitter bahwa soal UN tahun ini menggunakan standar PISA dan TIMSS. Saya pun hanya bisa menelan ludah waktu itu.
Menyetarakan standar pendidikan Finlandia dengan Indonesia dengan cara seperti ini menurut saya sangatlah lucu. Bukannya mustahil, namun perlu waktu yang tidak sebentar dan diperlukan sosialisasi yang cukup intens. Mungkin UN tahun ini masih bisa diterima jika Mendikbud mengumumkan seperti itu beberapa bulan sebelum UN, bukan pada saat H+1 UN. Jelas saja banyak yang mengecam Mendikbud (termasuk saya) saat itu. Mendikbud juga tidak memikirkan kesamarataan pendidikan Indonesia. Jelas beda, pendidikan di kota metropolitan, kota kecil, dan daerah. Jelas beda, pendidikan di DKI Jakarta dengan pendidikan di Irian, yang menunjukan bahwa pendidikan kita tidaklah adil. Mendikbud pun selalu mengumbar bahwa UN adalah tolak ukur pendidikan Indonesia dan mencerdaskan. Kata ‘mencerdaskan’ itulah yang ingin sekali saya kecam. Menurut saya, untuk mencerdaskan generasi muda bangsa bukanlah dengan Ujian Nasional yang secara mendadak menggunakan standar pendidikan Finlandia yang jelas-jelas jauh sekali dengan standar pendidikan Indonesia, tetapi dengan menumbuhkan dan mengembangkan setiap potensi dan bakat yang dimiliki oleh masing-masing pelajar. Namun, jelas cara seperti itu bisa dibilang cukup sulit untuk dilakukan, karena sistem pendidikan Indonesia yang tidak mendukung.
Setiap pelajar di Indonesia pasti ada yang berbakat di bidang sains, musik, seni, humaniora, dan sebagainya. Tetapi, pelajar di Indonesia dituntut untuk memiliki semua potensi tersebut pada dirinya. Menurut saya, dengan cara seperti ini tidak akan bisa, karena setiap pelajar memiliki potensi dan bakat yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ada seorang siswa yang berbakat di pelajaran eksakta seperti Matematika, Fisika, Ekonomi, dan sejenisnya namun tidak berbakat di mata pelajaran non-eksakta seperti Sosiologi, Antropologi, Biologi, dan sejenisnya. Jika mengikuti sistem pendidikan di Indonesia, pastinya wajib juga siswa tersebut mengikuti pelajaran non-eksakta, karena memang sudah standar kurikulumnya seperti itu. Jelas sistem seperti ini salah, karena tidak mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki siswa, namun menuntut siswa untuk ‘ahli’ di segala bidang, padahal setiap siswa memiliki bakatnya masing-masing.
Ki Hajar Dewantara berkata “Pendidikan adalah upaya untuk membangun nilai, rasa, nalar, dan jiwa anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.” Pendidikan bukanlah mengikuti mata pelajaran, menghafal pelajaran tersebut, dan berlomba-lomba mendapat skor yang tinggi. Pendidikan adalah penanaman ilmu, moral, dan memajukan manusia, agar dapat bermanfaat untuk masyarakat, sesuai dengan bidang yang digelutinya. Pelajar Indonesia telah mengalami krisis identitas pendidikan. Saya menulis opini ini bukanlah sebuah pelampiasan pesimistis saya terhadap UN tahun ini, namun saya menulis opini ini karena saya peduli terhadap pendidikan Indonesia dan generasi muda di masa mendatang. Pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia, dan kecerdasan sejati adalah yang bisa berkontribusi untuk bangsa ini. Viva Academica!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H