Adi dan Bali salah satu sahabat yang selalu menghidupi suasana dengan senyuman. Setiap situasi mereka berdua selalu bercanda dan bermain layaknya anak kecil. Mereka berdua dipertemukan dalam sebuah komunitas tempat pembinaan calon imam. Masing-masing karakternya berbeda. Adi memiliki karakter seperti anak-anak, sedangkan Bali memiliki karakter seperti orang dewasa. Karakter ini dipertemukan menjadi sebuah pelajaran berharga bagi masing-masing pribadi. Saat mau menjelang paskah, mereka berdua salah satu orang yang pertama masuk ke dalam Gereja. Entah apa motivasinya tidak terlalu penting, salah satu motivasi sederhana dari mereka adalah ’’supaya dapat tempat duduk paling depan’’ Sebenarnya alasan ini tidak terlalu memberikan motivasi yang wow. Namun karena keinginan yang sederhana ini, mereka selalu menjadi orang yang pertama. Menjadi orang yang pertama sangat indah, sebab segala sesuatu selalu dimulai dari yang pertama.
Saat menjelang malam Paskah, mereka berdua berjanji untuk berangkat ke Gereja lebih awal satu jam dari teman-temannya yang lain. Tepat pada waktu yang dijanjikan itu, Adi dan Bali cepat-cepat berangkat ke Gereja supaya mendapatkan tempat duduk di bagian depan. Namun, ada satu hal yang menghalangi langkah mereka. Tiba-tiba suara langkah kaki Romo pembina datang ke tempat mereka berdua dan mereka dimintai untuk menjaga asrama, alasannya rumah asrama tidak ada orang yang menjaganya. Ujar Romo pembina kepada Adi ‘’ Adi dan Bali tinggal di rumah ya sebentar, setelah kami selesai misa malam Paskah baru Adi dan Bali mendapat giliran misa kedua’’. Karena suara Romo pembina yang mengatakan seperti itu, maka Adi dan Bali mau tidak mau harus taat pada perintah tersebut. Sebenarnya Adi dan Bali salah satu anak yang memiliki dendam pribadi terhadap Romo pembina.
Saat di asrama, Adi dan Bali seperti orang yang salah tingkah, seolah-olah mereka tidak mendapatkan berkat Paskah yang pertama. Harapan terbesar mereka hanyalah menjadi orang yang pertama masuk ke dalam Gereja. Terutama malam puncak di mana Tuhannya telah bangkit, mereka mengharapkan berkat kebangkitan diperoleh saat menjadi orang yang pertama. Saat ini, Adi dan Bali gagal menjadi orang yang pertama. Karena kegagalan ini, Adi dan Bali merencanakan sesuatu yang menjauhkan mereka dari berkat kebangkitan Tuhan. Adi mengajak Bali untuk tidak mengikuti misa Malam Paskah. ‘’ Bali.... ayok kita berdua ngak usah misa, lagian misanya udah terlalu larut malam, apalagi misa malam ini bacaannya panjang terus banyak’’  Awalnya Bali setuju dengan pendapat Adi, namun kebosanan melanda waktu mereka berdua saat menunggu kedatangan teman-teman yang lain. Tiba-tiba Bali yang memiliki sikap dewasa berubah pikirannya, Bali mempertimbangkan banyak hal. Katanya kepada Adi ‘’ seandainya kita tidak misa, lalu Romo pembina tahu nasib kita berdua jadi berabe..... nanti’’. Akhirnya Adi dengan hati kecewa memaksa dirinya untuk pergi misa malam Paskah. Saat pergi misa, Adi lupa dengan segala sesuatu yang telah ia persiapkan untuk di Gereja (lilin, Puji Syukur, sepatu dan masker). Adi yang sedikit kecewa pada Bali, pergi ke Gereja dengan penampilan apa adanya. Ia dengan percaya diri mengunakan baju berkerah, jam tangan hitam, celana panjan warna krim, tapi Adi tidak sadar kalau dia mengunakan sandal jepit berwarna merah. Saat datang ke Gereja Adi dan Bali berjumpa dengan Romo pembina. Perjumpaan dengan Romo pembina adalah hal yang tidak sama sekali diharapkan, bahkan Adi muak melihat wajah Romo pembina yang suka cari perhatian umat. Awalnya Adi sudah mempunyai jurusan untuk menghindar dari Romo pembina, namun karena Romo pembina yang dahulu melihat Adi dan Bali sedang berjalan di sekitar halaman Gereja, Romo pembina langsung memanggil Adi. Adi menjadi bingung sambil meletakan tangan di dahinya ‘’Aduh...setan telah melihat kita, bagaimana ni Bali, apakah kita berdua  mengelak’’  ujar Bali ‘’ ya udah kita datangi aja setan itu’’. Suasana semakin tidak enak, hal yang tidak mereka berdua  sukai terjadi. Kata Romo pembina di hadapan banyak umat  ‘’mereka berdua anak yang rajin dan penurut, tadi saja mereka saya minta jaga asrama mereka berdua laksanakan dengan baik’’. Apa yang Romo pembina katakan di luar dugaan Adi dan Bali, sebenarnya Romo pembina mengatakan kata-kata itu hanya untuk mendapat simpati umat. Betapa jahatnya romo pembina di mata Adi dan bali, sesampai mereka benci kepadanya. Kebencian ini semakin memperburuk suasana Paskah, apa yang Adi dan Bali harapkan untuk mendapat berkat Paskah justru menghantarkan mereka berdua kepada kebencian.
Entah apa yang merasuki pikiran Romo pembina, tiba-tiba Romo pembina memanggil Adi dan Bali untuk makan bersama umat ‘’Adi.....kamu dan Bali apakah sudah makan di asrama’’ Adi menjawab ‘’belum’’ sedangkan Bali menjawab ‘’ sudah’’ jawaban ini dilontarkan pada waktu bersamaan, Romo pembina bingung seolah-olah Adi dan Bali tidak ada yang meyakinkan. Bodoh amat, yang penting bagi Adi makan, Adi menarik tangan Bali dan mengajaknya ke ruang makan. Saat di ruang makan Adi kepleset kakinya terkena bekas minyak’’ adu....h sakit...’’ hal ini membuat sejuta umat riuh dan memalingkan perhatiannya kepada Adi dan Bali. Sikap kekanak-kanakan yang dimiliki Adi membuat malu Bali temannya, apa lagi Romo pembina mengetahui hal tersebut. Bali cepat-cepat memopang badan Adi ke dalam Gereja agar mereka berdua tidak diketahui banyak orang (jauh-jauh mendapat makan, eh.... mala sial yang mereka berdua dapatkan).
Akhirnya mereka berdua mengikuti misa dengan tenang. Saat misa berlangsung ada pengumuman dari panti umat ‘’diberitahukan kepada semua umat diharapkan menjaga jarak dan taat peraturan kesehatan serta mengunakan masker dengan baik’’. Mendengar hal ini Adi sadar bahwa dirinya tidak membawa masker dan tidak mengunakan sepatu. Saat misa berlangsung Adi dihantui oleh rasa malu, bahkan saat menerima komuni Adi hanya melihat ke bawah dan bersikap bodoh amat dengan umat sekitarnya. Ujarnya kepada Bali ’’ Li.. ayo kita pulang setelah selesai penerimaan komuni’’ Bali pun menyetujuinya ‘’ Lets go...’’
Sesampai di asrama, Adi dan Bali membuat refleksi harian, mereka berdua menulis masing-masing cerita pengalaman malam Paskah. Tulisan ini awalnya disimpan di laci meja belajarnya. Entah kenapa Romo pembina mengetahui semua tingkah laku Adi dan Bali. Lalu Adi dan Bali dipanggil ke ruangan Romo pembina, ujar Romo pembina ‘’ coba Adi ceritakan kronologis misa malam Paskah, apakah Adi dan Bali mengikuti misa sampai selesai’’ jawab Adi sambil gemetar ‘’ti...tida....k’’ lalu romo pembina mara kepada Adi dan Bali, sehingga ia memberikan sangksi kepada Adi dan Bali. ‘’Adi, Bali kalian berdua besok berdoa di depan tabernakel mulai dari pagi hari sampai malam hari (06:00-19:00). Awalnya Adi mau menjawab, tetapi Romo pembina langsung membentak ‘’d..i..a..m..’’. Suasana hati Adi dan Bali semakin kacau, mau tak mau Adi dan Bali harus menjalankan sangksi yang diberikan kapadanya.
Hukuman ini mereka berdua jalankan seperti yang diperintahkan oleh Romo pembina. Sekitar jam tiga sore, ada suatu mujizat terjadi pada Adi dan Bali. Tabernakel yang mereka berdua sembah mengeluarkan darah. Darah yang dikeluarkan seperti cairan anggur dan baunya sangat amis. Peristiwa ini membuat Adi dan Bali sangat menyesal. Terutama penyesalannya terhadap peristiwa misa malam Paskah yang mereka jalankan dengan tidak serius, Adi menagis sedangkan Bali merasa ketakutan. Adi dan Bali berjanji di hadapan tabernakel untuk tidak mengulangi hal yang sama. Adi dan Bali masing-masing berdoa doa Bapa Kami dan Salam Maria berulang-ulang sampai selesai hukumannya. Semua peristiwa yang terjadi pada mereka tidak disceritakan kepada siapa-siapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H