"Sok Sokan pakai jilbab, bilang saja kalau itu kedok agar perut buncitnya tak terlihat"
Setiap mendengar cibiran atau cemoohan warga ia hanya bisa menghela nafas, namanya Alina, ia lahir dan tumbuh besar disebuah desa yang mana warganya masih awam terhadap agama.
Bukan hanya sekali ia kata-kata pedas nan menyakitkan itu, semenjak dirinya memutuskan untuk mengenakan jilbab, tetangga yanga awalnya terlihat seperti keluarga kini terlihat sebagai ancaman baginya, bukan hanya tetangga, keluarganya sendiri pun kadang menentang keputusannya.
" Kalu memang mau pakai, ya yang pendek juga bisa, kenapa harus sepanjang itu, malu tau diomongin tentangga, semuanya bilang kalau kamu sudah hamil duluan" proses adiknya suatu hari.
 dengan sabar ana menjelaskan kepada adiknya itu.
" Tidak usah pedulikan anggapan manusia dek, yang penting kita mulia di hadapan Allah"
" Hisss, pasti guru agamamu lagi, toh istrinya juga tidak pakai jilbab, ngapain kamu pake? " Seru Ina, adiknya menentang.
 Lagi lagi ana hanya bisa menghela nafasnya, ia mengambil jilbab yang tersampir di ranjangnya lalu menciumnya, hanya satu harapannya semoga desanya ini bisa tercerahkan dengan syiar agama Islam.
 Suatu hari ana yang sedang menyapu masjid dikejutkan dengan datangnya tiga orang pria dihadapannya, ketiganya memandang ana dengan Pandanga meremehkan, ana yang merasa risih menatap ketiganya dengan tatapan tajam.
" Mau apa kalian?" Tanyanya sedikit ketus
" Pake nanya, dibayar berapa semalam?" Tanya salahsatu pria,
Ana pun mengerutkan dahinya
"Maksudnya?" Tanya ana tak mengerti.
"Sok polos lhoo!.. jual diri bilang aja kali, pake jilbab segala, biar gak kelihatan ya pelacurnya, biar kelihatan alim gitu?" Cercah pria itu lagi,
Kedua temanya pun tertawa, ana yang emosi mengeratkan genggaman tangannya pada gagang sapu.
" Astagfirullah aladzin, jangan asal bicara ya kamu! Saya tidak pernah berbuat sekotor itu" tegas ana.
Pria itupun tertawa, ia merasa ucapan ana hanyalah sebuah lelucon, matanya menatap menyala ke arah an, perlahan ia mulai berjalan mendekati ana yang tak sama sekali menampakan rasa takutnya, ketika ia akan menyentuh ana, seorang pria tua datang dan menghrntikaanya.
" Mau ngapain kamu? Kerja sana cari uang, keluyuran saja seperti tidak punya rumah..sana pulang" tegur pria tua itu, namanya pak Ridho.
Pria yang sempat mengganggu pun berdecak kesal, setelah itu ia mengajak teman temannya pergi dari sana.
Setelah mereka benar benar menghilang dari  pandangan ana, ana pun menundukan kepalanya ia merasa benar benar lega sekarang, namun tak dapat dipungkiri jika ucapan tadi benar benar menyakiti hatinya, apa sesulit dan sesakit inikah berjuang dijalannya? Ana pun tidak tahu, yang ia tahu apa yang ia lakukan belumlah seberapa dibandingkan dengan yang dirasakan ielah sang nabi.