Cerita ini saya alami ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Tahun 1975 sudah kelas empat waktu itu, saya dan teman-teman sepulang sekolah sering mandi di sungai. Kebiasaan ini dilakukan agar sesampainya di rumah badan terasa segar.
Di desa kamu mengalir sungai jernih dan ada sumber air di pinggir yang digunakan untuk mandi oleh penduduk di sekitarnya. Sungai itu pula yang memisahkan kampung persil di desa kami. Belum ada jembatan yang menghubungkan dua desa tersebut, oleh karenanya jika ingin ke kampung sebelah harus menyeberang sungai.
Kembali ke cerita awal, kami mandi tentunya tidak memakai kain sehelai pun. Ketika sedang asyik-asyiknya berenang-renang, saya lihat ada batang pisang di jalan tembus ke kampung sebelah. Tahu kan maksudnya? Iya, Betul untuk dijadikah sampan. Kami anggap permainan air yang sangat menyenangkan.
Nah di tengah-tengah kami membersihkan kulit luar batang pisang, berbondong-bondong ada rombongan guru kami yang sedang menyeberang. Paniklah kami, tentu, karena kami tak pakai sehelai benang pun. Ingin bersembunyi tidak bisa karena di sebelah kiri dan kanan adalah bukit batu, jika kembali ke sungai tentu berpapasan dengan beliau-beliau.
Karena panik tiga orang teman kami menutupi mukanya dengan tangan lalu berlari ke sungai. Spontan saya duduk membungkuk agar tidak terlihat oleh guru kami. Setelah saya rasa aman karena rombongan guru sudah berlalu, saya dekati teman-teman sambil menahan tawa. Dasar bocah mendho, la yo panggah ketok to. Seharusnya kan yang  bawah yang ditutup. Kamu nggak lihat Bu Guru tapi Bu Guru melihatmu, hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H