Dia tahu hartanya banyak dan tidak mempunyai anak makanya dia menulis surat wasiat untuk membagi hartanya pada yang berhak. Sebelum meninggal Sri menulis surat wasiat ke firma hukum Thompson yang terkenal dengan reputasi baik, penjaga ksatria hukum. Juga surat ke sahabatnya di Solo, Nur. Inilah panduan Zaman untuk membagi warisannya meski menghadapi intrik dari Sulastri yang ternyata masih mendendam yang mengejar Sri sampai Paris. Lastri berubah menjadi Ningrum dan ternyata menculik Tilamut waktu tragedy 1965. Sri tidak tahu kalau adiknya masih hidup  karena kabar yang beredar Tilamut dibunuh waktu tragedy 1965.
Inilah cerita Tere menjadi asyik dengan penyelesaiannya. Kehidupan Sri yang unik dan tegar dapat menjadi pelajaran. Cerita diurai satu-satu supaya pembaca mengikutinya. Tere menjaga suspend. Meski sebenarnya bisa saja Zaman langsung membaca semua buku hariannya. Bukan hanya halaman per halaman yang diperlukan supaya ceritanya runtut.
Cerita memang  memikat dengan kalimat yang enak seperti ciri khas Tere. Ada beberapa kutipan yang menarik. Pada Juz Pertama tentang kesabaran 1946-1960 dari buku harian Sri. "Apakah sabar memiliki batas? Aku tahu jawabannya sekarang. Ketika kebencian, dendam kesumat sebesar apapun akan luruh oleh rasa sabar. Gunung akan rata, laut akan kering. Tidak ada yang mampu mengalahkan rasa sabar. Selemah apapun fisik seseorang, semiskin apapun dia, sekali di hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya."
Juz kedua tentang Persahabatan 1961-1966 pada halaman 141. Sri mengalaminya di Solo. "Apa arti persahabatan? Apa pula pengkianatan? Apakah sahabat baik mengkhianati sahabat sejatinya?" Jalan kebenaran yang harus dipilih meski seolah mengkhianati persahabatan. Juz ketiga tentang keteguhan hati. 1967-1979. Sri mengalaminya di Jakarta. "Terima kasih atas pelajaran keteguhan. Pertanyaan pentingnya bukan berapa kali kita gagal melainkan berapa kali kita bangkit lagi, lagi dan lagi setelah gagal tersebut. Jika kita gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x."
Ada yang perlu menjadi catatan pada pada novel ini. Meski jalan cerita hak sepenuhnya penulis. Dalam buku harian biasanya berisi terbuka apa saja dituliskan. Termasuk nama kota, tahun atau nama-nama yang terlibat. Komplet semua informasi dan tak ada yang ditutupi. Tapi buku harian Sri berisi sepotong-potong informasi simbolis yang harus ditebak artinya. Seolah menjadi cerita misteri. Memang ini lagi-lagi penulis harus menjaga suspend. Kalau buku hariannya komplet maka selesailah cerita pada saat awal. Tak ada cerita panjangnya he..he..
Episode buku harian selesai yang hanya 3 juz pembuka, yang hanya berisi info singkat simbolis. Tak lebih dari dua lembar. Berarti buku hariannya tipis sekali? Atau ada keterangan lain yang tak perlu disampaikan. Episode informasi dari buku harian ya hanya 3 juz itu dengan beberapa foto. Lalu dilanjut dengan informasi dari nara sumber dan surat-surat yang disimpan nara sumber.Â
Surat-surat ini juga membacanya hanya sepotong sepotong --sekali lagi- untuk mengatur suspend dan cerita. Supaya pembaca bisa mengikuti runtut. Meski biasanya kita kalau menerima informasi dari surat-surat akan dibaca keseluruhannya. Ini dibaca urut satu-satu hari ini, besok satu lagi dibaca, supaya cerita enak diikuti. Dan sebenarnya kalau dari awal ada surat terakhir yang penting, surat wasiat --masih di kotak yang sama dengan surat yang lain dari pemberian sahabat Sri, Nur- tapi surat wasiat itu dibaca pada saat ahir cerita di Paris.Â
Karena letaknya tersembunyi. Coba kalau dibacanya di Solo, cerita bisa cepat selesai. Tidak perlu petualangan lagi he..he... Â Apa ini keunggulan atau kelemahan saya tidak tahu. Lagi-lagi memang penulis sedang memainkan perannya sebagai pengatur cerita.
Juga cerita sopir pendamping, semuanya penduduk local. Apa memang waktu carter mobil harus memilih sopir local yang relative mengerti daerah itu. Karakter sopir local daerah bisa menggambarkan daerah yang diwakilinya. La Golo yang suka cerita mewakili dan terbuka mewakili daerah Sumbawa. Sarwo yang pendiam mewakili daerah Solo.Â
Sueb yang asli Betawi mewakili potret penduduk asli Betawi yang jadi tukang ojek dan kebetulan tahu daerah yang ditelusuri tokoh utama, Tanah Abang, Monas, Senen, Pulau Gadung. Sueb orangnya terbuka, suka cerita dan mengerti riwayat dulu daerah-daerah tertentu di Jakarta. Pertanyaan yang tak penting, waktu pesan ojek on line, kenapa kebetulan pengendaranya bisa orang asli Betawi dan berusia 40 tahunan yang mendukung cerita? Padahal sangat banyak kemungkinannya tukang ojek bukan asli Betawi dan umurnya masih relative muda? Ini pertanyaan tak penting karena memang itu otoritas penulis dengan unsur "kebetulan" he..he.. Ada yang sedikit mengganggu, cerita Sueb tentang obrolan orang Betawi di toilet yang kencing melenceng karena sunatnya.Â
Dialog itu sudah beredar di WAG (WhatsApp Group) dengan versi lain, obrolan gaya Suroboyonan. Apa Tere yang menciptakan cerita itu atau Tere mengutip obrolan WAG? Kurang tahu, rasanya sudah lama obrol di WAG itu.