Mohon tunggu...
sunaryo broto
sunaryo broto Mohon Tunggu... -

Ayah 3 anak dan karyawan perusahaan pupuk yang mendalami bidang SDM. Hobi menulis, membaca, traveling, fotografi, melukis dll. Ada beberapa bukunya yang sudah terbit, Catatan Haji Sebuah Hati, Demang Atmodikromo, Ronggo Karyosarono, Balada manusia Industri (Antologi Puisi), Tentang Waktu (Kumpulan Puisi), Pertemuan di Kebun Raya (Kumpulan Cerpen) dll

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Buku: 12 Menit yang Menentukan

23 Juli 2013   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:09 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resensi Buku : 12 Menit yang Menentukan

Judul Buku: 12 Menit. Pengarang: Oka Aurora (Penggagas cerita : Regina Septapi). Penerbit Noura Books, Diterbitkan pertama Mei 2013. Jumlah halaman 340. Sebuah novel yang dibuat dari skenario filmnya.

Sebenarnya banyak sekali buku berjudul 12 menit dengan berbagai tema. Tetapi saya tertarik membaca buku ini karena judulnya, sudah lebih akrab di telinga, 12 Menit. Beberapa bulan sebelumnya di lingkungan komplek Pupuk Kaltim sudah sering melihat kegiatan shooting film 12 Menit Untuk Selamanya yang dibuat Rumah Produksi Big Picture dan sutradara Hanny Saputra. Jadi publikasinya sudah lebih dulu. Alasan lain, merasa akrab dengan setting cerita karena saya tinggal di kompleks Pupuk Kaltim sudah lebih dari 21 tahun dan sering melihat atraksi marching band. Baik saat latihan waktu sore atau malam maupun waktu pentas.

Saya tuntaskan membaca pada liburan Sabtu Minggu dalam sekali telan. Tulisannya memang enak dibaca dan mengalir. Terlebih semua kejadian settingnya di markas marching band GOR Pupuk Kaltim yang tak jauh dari rumah saya. Setiap latihan marching band suaranya saja sampai terdengar di rumah saya. Kalau jalan melewati GOR memang saya melihat para krew masih latihan dengan tekun. Perlu energy dan kesabaran luar biasa untuk disiplin ini.

Oka Aurora memang belum dikenal sebagai penulis novel. Waktu saya cari di Google juga tak banyak data yang didapat. Di buku disebutkan, dia menulis setelah diPHK dari perusahaan telekomunikasi. Ini adalah scenario yang ke empat dan menjadi novel perdana. Sebagai pendatang baru, novelnya sudah menarik. Penggambaran cerita, konflik, plot, settingnya yang detail sudah bagus. Bahasanya mengalir lancar dan enak membangun masalah dan penyelesaianya. Penulis yang mengaku belum tahu tentang alat music marching band tetapi bisa menggambarkannya dengan detail kegiatan dan peralatannya. Nama-nama alat music marching band dan istilah-istilah music dipaparkan dengan enak.

Dalam lembaran ucapan terima kasih Oka menulis, untukmu, teman-teman Marching Band Bontang Pupuk Kaltim. Kamulah alasan cerita ini ditulis. Peluh kerjamulah bukti bahwa meraih kemenangan tak cukup hanya mimpi. Ada juga pernyataan seorang penulis produktif, Helvy Tiana Rosa yang dimuat dalam halaman depan dalam. Helvy menulis sebuah kisah segar tentang persahabatan dan perjuangan anak-anak daerah yang merupakan anggota marching band di Bontang. Cerita yang akan menyemangati dan menginspirasi pembaca hingga lembar terakhir. Belum membaca tuntas, sudah bisa dibayangkan tentang isi cerita.

Cerita dibuka dengan pengambaran kegiatan latihan awak marching band di markasnya, stadion Pupuk Kaltim Bontang. Setiap 3 hari dalam seminggu 150-an orang itu harus latihan terus dari sepulang sekolah sampai malam. Banyak di antaranya yang masih sebagai cadet, calon pemain inti. Lalu beralih ke Rene, seorang wanita pelatih keras kepala lulusan Amerika yang bermimpi membawa tim marching band yang dilatihnya menjadi juara nasional. Meskipun berbekal pemain dari daerah terpencil dan minim fasilitas.

Elaine, seorang siswa di Jakarta dan penggemar music terutama biola harus pindah ke Bontang karena tugas ayahnya, Josuke Higoshi yang asli Jepang yang menjadi petinggi perusahaan. Begitu tahu di Bontang ada marching band, Elaine melamar menjadi field commander karena sebelumnya dia juga punya pengalaman itu. Tara, seorang siswi dari Jakarta yang harus ke Bontang mengikuti Oma Opanya karena bapaknya meninggal akibat kecelakaan mobil dan ibunya harus meneruskan study S2 ke Inggris. Lahang, seorang putra Dayak yang harus latihan menari meski di rumah ayahnya seorang diri sakit tergolek di rumah dengan ekonomi pas-pasan. Ibunya sudah meninggal.

Banyak nama-nama lain mengitari cerita. Kak Heri, seorang pelatih, Bimo Pak Manajer, Yahya asisten pelatih, Ronny, field commander yang kecelakaan, Hilda, Rosmina dan Toby pelatih tari dari Jakarta. Cerita saling menjalin. Saling mengurai. Saling melengkapi. Saling berbicara. Satu tokoh ada masalah ditambah tokoh lain yang juga ada masalah. Belum selesai masalah satu. Ada lagi tokoh lain lagi yang punya masalah unik lagi. Semua dijalin dengan rapi dan diselesaikan dengan gagah. Tak tampak cengeng. Juga tak mengada-ada.

Banyak problem menghinggapi krewnya tetapi karena pelatihnya “keras kepala” dapat mengatasinya. Pelatih juga punya “mimpi” membawa marching menjadi juara. Juga peran “mimpi” tiap krew. Elaine ingin mengukir prestasi di marching band tetapi dalam waktu yang sama harus mewakili sekolahnya dalam olimpiade fisika. Elain harus memilih dengan konsekwensi harus menyakinkan bapaknya yang lebih senang mengikuti olimpiade.

Tara dengan problem pendengarannya, kepercayaan diri dan emosinya. Tara hampir menyerah setelah menyatakan keluar dari marching band. Tetapi Rene, Oma dan waktu dapat menyakinkan lagi untuk menggali bakatnya meski dengan keterbatasan pendengaran. Lahang lain lagi problemnya. Dengan kondisi sakit bapaknya dan jarak rumah yang jauh dari tempat latihan, dia harus berjuang untuk bisa latihan tari. Mimpi Lahang hanya ingin melihat tugu Monas di Jakarta seperti pesan mediang ibunya pada selembar foto tugu Monas di lembaran koran. Tapi bagi Lahang, melihat Tugu Monas hanya symbol untuk pengembangan diri dan mengatasi keadaan. Dia yang hidup sangat sederhana dan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Jakarta ingin sekali melihat tugu tersebut. Kalau bisa melihat tugu Monas, berarti akan ada kesempatan lain melihat tugu lain di tempat lain atau negara lain. Begitu juga yang melanda sebagian besar awak marching band, mereka hanya bermimpi melihat Jakarta. Dengan mengikuti marching band, mereka mempunyai tiket untuk melihat Jakarta. Satu-satunya tiket. Ini semangat yang tidak dipunyai anak Jakarta.

Dalam segala keterbatasan dan tantangan, semua dapat mengatasi keadaan. Rene dapat membawa marching band bertanding di Istora Senayan, Jakarta dalam GPMB (Grand Prix Marching Band). Tapi problem belum semuanya selesai. Rene masih harus menumbuhkan rasa percaya diri anak-anak asuhannya yang sempat minder begitu melihat peserta lain yang lebih mewah penampilannya. Rene berbicara memberi motivasi di saat krisis. Rene juga harus berdebat dengan manajernya –yang tak lain mantan pacarnya- karena, ayah Lahang meninggal di saat akan tampil di Istora. Terjadi perdebatan dan keraguan. Tapi akhirnya Lahang dapat membuat keputusan dan tetap tampil bertanding.

Ini memang kisah happy ending. Tapi kebahagiaan itu dibangun bertahap dan bisa sampai puncaknya. Mereka dapat menutup dengan manis penampilan selama 12 menit. Ibu Tara yang harus datang tergopoh-gopoh membawa tas kopernya langsung dari bandara setelah perjalanan jauh dari Inggris pun dapat melihat penampilan buah hatinya. Setelah diumumkan para juri, mereka menggondol juara. Tepuk tangan dan saling peluk bersautan. Juga isak tangis. Ini hanya cerita awal karena setelahnya Marching Band Bontang Pupuk Kaltim juara terus 10 kali dengan tambal sulam pemain.

Tak kenal maka tak sayang. Kalau kita tak mengenal kegiatan marching akan menganggap hal itu biasa saja. Seperti halnya rutinitas kegiatan di tempat lain. Tapi setelah mengetahui secara detail kegiatan –melalui isi novel- kita bisa mengapresiasi kegiatan tersebut. Juga pada para pelakunya. Bagaimana mereka latihan hampir setiap hari sampai malam. Suara tambur dan teropet bercampur dengan keringat. Prestasi juara 10 kali GPMB bukan jatuh dari langit. Ini bukti kerja keras, kedisiplinan, kesabaran dan mimpi yang harus tetap dipelihara.

Sebagai warga Bontang, saya tentunya gembira ada cerita kiprah Bontang yang didokumentasikan baik lewat film atau novel lewat kaca mata orang luar. Oka, sebagai penulis tinggal di Jakarta. Bontang memang kota kecil tetapi sudah dikenal secara nasional. Lewat novel 12 Menit, bisa mengetahui dibalik cerita kegiatan marching band, ada kisah lain yang menarik di Bontang. Sebenarnya masih ada lagi yang perlu dikenalkan pada dunia luar tentang Bontang yaitu sebagai kota penghasil pupuk urea terbesar di Asia Tenggara. Juga salah satu penghasil gas alam cair tingkat dunia. Di Bontang juga ada PKTV (Publik Khatulistiwa TV), salah satu stasiun TV lokal pertama di Indonesia yang mulai berkiprah sejak tahun 1995-an. Bontang juga pernah dikenal sebagai markasnya klub sepak bola PS Pupuk Kaltim yang sempat sebagai finalis liga sepak bola Divisi Utama tahun 1990-an. Ada juga kehidupan unik dan menarik yaitu komunitas Bontang Kuala atau Selangan, komunitas nelayan yang semua rumah warganya di atas laut.

Kalau boleh mengkritisi ada beberapa hal. Bukan masalah besar tetapi hanya remeh temeh saja. Mungkin karena penulis dari luar Bontang saya maklum. Bontang disebut jarang hujan, padahal relative sering dibanding daerah Jawa. Memang cuaca panas. Lokasi Teluk Lombok yang agak jauh. Perlu waktu lebih dari satu jam berkendaraan dari Bontang. Tetapi diceritakan dengan waktu sekitar satu jam Lahang sudah sampai rumahnya. Saya tidak tahu lewat mana. Terlebih belum tahu juga pakai kendaraan apa karena Lahang berjalan kaki dari tempat latihan. Kalau boleh menyarankan, akan lebih baik menggunakan setting lokasi lain yang relative lebih dekat untuk tempat tinggal Lahang. Tidak harus dipaksakan di Teluk Lombok. Teluk Lombok bagi orang yang sudah bermukim di Bontang tahu jaraknya relative jauh dan masuk Kabupaten Kutai Timur.

Dalam cerita tentang upacara belian masih terlalu datar. Hanya seperti melintas saja. Lagi-lagi di Teluk Lombok. Apa benar di situ pernah dilakukan upacara belian? Karena itu daerah pantai yang kebanyakan penduduk pendatang. Untuk lebih menggigit sebagai pembanding, bisa dibaca cerita upacara belian dalam salah satu episode di novel Di antara Dua Cinta dari Inni Indarpuri (Pengarang Samarinda). Atau sekalian dari novelnya sastrawan nasional, Korrie Layun Rampan, Upacara yang mendapat beberapa penghargaan. (Sunaryo Broto, Bontang 29 Mei 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun