Pandemi covid-19 mulai mereda, kondisi perekonomian berangsur membaik. Ruas- ruas jalan mulai ramai dengan penjual gorengan dan usaha kuliner. Obyek wisata mulai buka juga meski dengan protokol kesehatan yang ketat. Namun kabar baik ini tak berlangsung lama. Para pengusaha, utamanya pedagang kecil kalang kabut kelimpungan akibat naiknya harga minyak goreng.
Kabarnya harga minyak goreng naik 30% dalam beberapa bulan terakhir. Kenaikan ini disebabkan melonjaknya harga minyak di tingkat global. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat, harga minyak goreng di pasar tradisional pada 10 Januari 2022 adalah sebagai berikut. Minyak goreng curah harga Rp 18.650 per kilogram, minyak goreng kemasan bermerk 1 harga Rp. 20.950 per kilogram, minyak goreng kemasan bermerk 2 harga 20.400 per kilogram. Harga ini meningkat sekitar 0,24% dibanding tiga hari sebelumnya.
Fenomena
Melambungnya harga kebutuhan pokok masyarakat berupa minyak goreng dapat kita cermati dalam dua makna. Pertama, bagi produsen bermakna keuntungan. Banyak keuntungan dapat ditarik atas fenomena ini. Produsen besar minyak goreng yang konon di Indonesia dikuasai 4 perusahaan besar senyum senyam melihat cuan di depan mata. Secara bersamaan kelompok produsen besar ini bekerja sama menaikkan harga untuk meningkatkan keuntungan sebesar- besarnya.
Dalam kehidupan sehari- hari minyak goreng menjadi kebutuhan pokok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi atau sekedar selera makan. Sudah barang tentu makna kedua, bagi konsumen adalah kerugian. Meroketnya harga minyak goreng membuat mereka tidak nyaman, terutama pedagang kecil, penjual gorengan, dan usaha kuliner lainnya yang menggantungkan kebutuhan hidup dari usahanya.
Mereka menjadi dilematis. Menaikkan harga dagangan resikonya ditinggal pelanggan atau menetapkan harga dan menurunkan kualitas. Untuk menjaga kebutuhan dapur tetap mengepul usaha mereka tetap jalan meski ditempa mahalnya harga minyak goreng.
Dengan terus meroketnya harga minyak goreng adalah ironi bagi Indonesia yang katanya menjadi negara pengekspor minyak kelapa sawit. Menurut data BPS tahun  2020, luas areal perkebunan kelapa sawit di negara kita Indonesia yaitu mencapai 14,58 hektar dengan jumlah produksi CPO 44,75 ton. Tiga provinsi diantranya yang memiliki lahan luas yaitu, Riau 2,86 hektar (terluas), kemudian Kalimantan Barat 2,11 hektar, dan Kalimantan Tengah 1,88 hektar. Dari produksi ini jutaan ton nilai ekspor Indonesia dengan negara tujuan China, India, Pakistan, dan Bangladesh.
Adalah sebuah ironi negara dengan penghasil ekspor minyak tinggi, tetapi konsumen dalam negeri sendiri mengeluhkan mahalnya harga. Mereka mengutamakan pasar ekspor. Kenaikan harga menyesuaikan dengan harga minyak sawit di pasar global sehingga lonjakan harga melesat tanpa kendali. Untuk itu intervensi pemerintah sangat dibutuhkan guna menekan harga minyak dalam negeri. Upaya pendekatan untuk menolong konsumen dalam negeri utamanya masyarakat kecil sehingga tidak dirugikan dalam satu sisi, dan tetap menguntungkan produsen di sisi lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H