Artikel ini saya tulis setelah sekian lama mengamati realitas sosial dalam hal seksualitas. Bagaimana masyarakat melihat realitas alamiah seks dan kemudian memaknai arti seks dan kegiatan seks itu sendiri. Sementara, pergeseran nilai budaya telah nampak dengan jelas merubah pandangan terhadap realitas alamiah seks dan merombak makna dari seks.
Masih terngiang dalam telinga kita, bahkan masih tersimpan rapat dalam memory otak kita bahwa seks dalam pandangan sebagian masyarakat kita dianggap “tabu”. Jangankan melakukan aktivitas seks secara sembarangan, membicarakan topik seks saja masuk dalam kategori tabu (ora elok).
Budaya adalah produk dari olah akal budi manusia. Karena ia hanyalah sebagai bentuk produk, maka tidak bisa dihindari budaya satu akan berhadapan bahkan berbenturan dengan budaya lain. Benturan budaya ini disebabkan disetiap tempat menghasilkan budaya, berikut juga Jawa sebagai entitas komunal sebuah masyarakat. Budaya Jawa harus siap berhadapan dengan budaya-budaya yang lain. Dan jangan heran, jika pada titik tertentu budaya Jawa harus bergesekan dan berbenturan dengan budaya di luar Jawa yang tidak berkesesuaian dengannya. Tidak terkecuali dalam hal memandang dan memberlakukan seksualitas.
Para leluhur kita atau orangtua kita bisa jadi sampai saat ini masih memiliki konsepsi “tabu” terhadap seks dan aktivitas seksualitas itu sendiri. Adanya konsepsi bahwa seks dan seksualitas adalah tabu atau pantangan ini berakibat adanya suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, dan tindakan terhadap seks. Sesuatu yang dianggap tabu ini adalah sesuatu yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Pelanggaran terhadapnya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari lingkungan sekitar.
Adanya sentuhan dan pergerakan lintas budaya pada saat ini, seolah merubah dan merombak konsepsi masyarakat atas seks. Seks yang semula dianggap tabu, kini menjadi sesuatu yang biasa dibicarakan. Seks adalah manusiawi, karenanya tidak perlu di-tabu-i; tidak perlu ditakuti—bahkan sangat perlu untuk dipelajari sebagai bentuk keterbukaan dan kebutuhan. Inilah kemudian muncul pentingnya pendidikan seks.
Benarkah konsepsi para leluhur kita dahulu bahwa seks dan seksualitas itu tabu, kemudian lepas begitu saja tanpa adanya penjelasan argumentatif dibalik kata tabu? Kemudian, apakah budaya Jawa sama sekali tidak memiliki nilai pendidikan seks yang kemudian terangkum dalam kekhasan budaya Jawa?
Dalam artikel ini akan sekelumit saya bahas tentang alasan-alasan dibalik kata tabu para leluhur, dan sekilas pandang pendidikan seks. Artikel ini saya buat berdasarkan atas study lapangan di sebuah masyarakat pedusunan nun jauh di daerah Gunung Kidul.
Salah Kawitane, Dadi Bilahi Wekasane
Masih ada salah satu bentuk tradisi “sapihan atau sengkeran” yang saya temukan pada saat study lapangan.“sapihan atau sengkeran” ini dilakukan justru setelah seorang anak menikah (sah sebagai suami-istri). Bentuk “sapihan atau sengkeran”nya adalah pasangan suami-istri yang baru saja sah menikah ini tidak boleh “berkumpul” atau berhubungan intim sebagaimana seharusnya pasangan suami-istri. Dalam masa “sapihan atau sengkeran” ini anak perempuan dikeloni oleh orangtua atau mertua perempuan (tidur bersama mereka, bukan sama suami)--untuk lama waktu yang sangat relatif. Lama waktu dalam masa “sapihan atau sengkeran” memang tidak ada ukuran yang jelas, karenanya bersifat relatif. Bisa dua tahun, tiga tahun, bahkan empat tahun.
Apa yang dilakukan selama masa “sapihan atau sengkeran” ini? Anak perempuan atau menantu perempuan selama masa “sapihan atau sengkeran” akan diajari oleh orangtua atau mertua perempuan dalam tiga hal:
1.Bagaimana ngawula tangga (mengabdi kepada tetangga; bermasyarakat; atau bersosial secara benar; pengenalan kepada tetangga dan saudara-saudaranya atau para sedulur; berikut nilai-nilai dalam hidup bersama masyarakat).
2.Ngawula morotuwa (mengabdi atau melayani mertua) karena dalam konteks ini mertua sudah menjadi orangtua baru bagi menantu perempuan. Karena itu menantu harus paham benar apa kesukaan mertua, bagaimana cara melayani orangtua yang benar (leladi).
3.Baru ngawula bojo (mengabdi kepada suami).
Sementara bagi putra laki-laki (anak lanang) dalam masa ini adalah masa-masa menyiapkan diri secara matang dalam hal bagaimana hidup bermasyarakat dan khususnya mempersiapkan secara perekonomian (iso golek pangupa jiwa).
Dengan demikian, tradisi “sapihan atau sengkeran” adalah sebagai bentuk metode pendidikan kepada putra laki-laki dan menantu perempuan. Inilah wujud tanggungjawab orangtua dalam panggulawentah piwucal urip bebrayan sakdurunge gebyur ing bebrayan agung (tanggungjawab pendidikan dalam menjalani hidup berumahtangga dan bermasyarakat). Karena itu, ketentuan sudah diperbolehnya pasangan suami-istri “bekumpul” bukan kepada berapa lamanya dalam masa “sapihan atau sengkeran”, tetapi ukurannya lebih kepada kualitas personal kesiapan mereka dalam hidup berumahtangga.
Mengetahui tradisi ini, saya benar-benar kembali diingatkan dengan salah satu pitutur luhur dari para leluhur Jawa dalam hal kaitannya dengan nasihat bagi mereka yang baru memasuki dunia rumah tangga (pernikahan). Pitutur luhur itu berbunyi “Salah Kawitane, Dadi Bilahi Wekasane” (apabila awal mulanya salah/kliru, maka akhirnya/hasilnya adalah kejelekan/kemurkaan). Satu nasihat para leluhur yang menurut saya wajib untuk kembali kita perhatikan dan kita renungkan bersama.
Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan generasi agar generasi kita tidak cures (punah). Sementara dalam tuntunan leluhur kita, hendaknya kita mampu membuat generasi atau anak yang baik (utama). Dalam pasemon Jawa tujuan menikah ini adalah kita mampu mengukir “darah biru”. Darah biru disini bukan berarti anak keturunan Ratu atau bangsawan, tetapi kita mampu menciptakan anak yang memiliki laku utama. Dan muara akhir dari pitutur-pitutur luhur pernikahan ini adalah terwujudnya keluarga yang sakiinah-mawaddah- dan warahmah.
“Salah Kawitane, Dadi Bilahi Wekasane” adalah pitutur yang mengingatkan kepada kita agar benar dalam laku, sehingga tujuan dari pernikahan bisa tercapai--salah satunya adalah mengukir darah biru kepada anak-anak kita. Mengukir darah biru berarti menyiapkan generasi baru yang berkualitas; kelahiran makhluk-makhluk (manusia) luhur yang berkesadaran tinggi. Dan prosesi awal mula (kawitane) ini dalam tradisi Jawa ada dalam“sapihan atau sengkeran”.
Tradisi “sapihan atau sengkeran” ini juga sebagai bentuk latihan menahan nafsu. Karena dalam khasanah Jawa untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi diperlukan sebuah tirakat/prihatin. Tirakat dilakukan dengan cara mesubudi (membatasi hawa nafsu angkara murka) dan mesuraga (mengendalikan membersihkan raga dari kotoran) semua itu harus ditempuh untuk hamemasah hamemasuh tajeming kolbu (mengasah ketajaman hati/kalbu).
Nyudo Napsu atau Berahi ketika sudah menjadi Simbah
Berapapun umurnya, katika seseorang sudah menjadi simbah atau telah lahir cucu pertama maka seorang pasangan suami-istri menghentikan hubungan sesksual dengan pasangannya bahkan mereka tidur dalam tempat tidur yang berbeda.
Ada beberapa alasan kenapa ada tradisi pemberhentian hubungan seks dengan pasangan (suami-istri) setelah lahirnya cucu pertama atau setelah mereka menjadi simbah dalam status sosial hubungan kekeluargaan.
Dalam konteks masyarakat Jawa, nilai-nilai tradisi berikut tata krama masih menjadi satu sistem aturan yang tidak tertulis yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan. Baik kehidupan secara individual maupun dalam bermasyarakat. Beberapa alasan mengapa mereka menghentikan hubungan seks setelah memiliki cucu adalah sebagai berikut:
Alasan pertama. Kewajiban orang tua untuk mendidik anak tidak gugur bahkan setelah anak mereka berumah tangga yang ditunjukkan dengan masa “sapihan dan sengkeran”, juga kewajiban mendidik ini tetap terus berlangsung ketika anak mereka sudah memiliki anak (orangtua sudah menjadi simbah; sudah memiliki cucu).
Bagi masyarakat Jawa umumnya. Proses pendidikan (panggulawentah) tidak berhenti setelah anak-anak mereka dewasa, atau sudah menikah berkeluarga bahkan tidak berhenti walaupun sudah memiliki cucu sekalipun. Karena ternyata, dalam masyarakat Jawa attachmen (kelekatan) cucu dengan simbah benar-benar masih terjalin. Kelekatan mereka ini ditunjukkan dengan tidur bersama cucu (bobok bareng puthu), bahkan simbah menjadi peran pengganti orangtua ketika orangtua mereka harus keluar rumah untuk berkerja atau kepentingan lain.
Kelekatan yang masih terjalin ini, menyebabkan munculnya kedekatan secara emosional tersendiri antara simbah dengan cucunya. Karena itulah, pendidikan tidak berhenti; proses pendidikan tetap berjalan kepada cucu-cucu mereka. Dengan demikian, kepentingan simbah adalah bertanggungjawab atas pemberian pendidikan yang benar (panggulawentah marang kautaman). Dan secara otomatis, simbah juga menjadi center of education—pusat pendidikan bagi keluarga—simbah harus mampu menjadi tauladan bagi cucunya. Tapi pertanyaannya kemudian adalah kenapa hubungan seks mereka (simbah) harus berhenti ketika mereka sudah memiliki cucu?
Aktivitas seks, bagi masyarakat Jawa adalah salah satu aktivitas yang sangat-sangat privasi. Bahkan, saking privasinya aktivitas seks ini sering dianggap tabu ketika harus dipertontonkan kepada umum. Dalam masyarakat Jawa, berbicara tentang seks saja adalah masuk dalam kategori tabu (ora elok). Apalagi menonton, dan bahkan melakukan aktivitas seks tersebut sembarangan. Penghentian aktivitas seks setelah memiliki cucu adalah salah satu cara untuk meminimalisir rentan diketahuinya aktivitas mereka oleh cucu. Apalagi, cucu mereka masih anak-anak yang secara umur belum saatnya mengetahui hal-hal yang bersifat seks—yang tabu itu. Ini adalah bentuk pendidikan seks mereka kepada cucu mereka, di sisi lain dalam masa kelekatan diantara mereka simbah juga bertanggungjawab memberikan transformasi nilai-nilai utama (kautaman).
Alasan kedua. Seolah terjadi konsensus didalam masyarakat Jawa bahwa ketika mereka sudah memiliki cucu atau menjadi simbah, tetapi kok mereka masih melahirkan anak lagi atas aktivitas seks mereka maka hal ini akan menjadi sesuatu yang mirang-mirangke (memalukan). Masyarakat sekitar akan memberikan label bahwa sudah tua kok masih granggsang (masih suka menuruti napsu berahi), sementara dalam nilai budaya Jawa hendaknya kalau sudah tua itu mengurangi atau bahkan kalau bisa menghilangkan napsu berahi.
Alasan ketiga adalah sebagai bentuk meper hawa napsu (menekan; mengurangi napsu).
Jawa sebagai sebuah bentuk kebudayaan, memang penuh dengan nilai-nilai yang diturunkan. Seolah dalam setiap tahapan kehidupan ada nilai yang mengaturnya. Meskipun nilai-nilai Jawa ini banyak yang tidak tertulis dalam kitab Jawa (dalam serat-serat dan kakawin), nilai-nilai Jawa diturunkan justru banyak melalui “tutur”. Dan inilah ciri khas kebudayaan Jawa, tutur luhur dari para leluhur yang dalam prakteknya tutur ini banyak berbentuk tembang. Leluhur kita, atau nenek-kakek kita, juga orang tua kita, dalam melakukan nasihat atau menurunkan nilai-nilai luhurnya banyak sekali dalam bentuk tembang. Tembang ini biasa kita dengar juga kita sebut dengan tembang macapat.
Budaya Jawa memiliki aturan main tersendiri dalam bagaimana menjalankan setiap proses tahapan kehidupan, bahkan mulai dari pemilihan pasangan hidup, bagaimana cara berhubungan intim (dalam suranggama), tahapan lahir, kemudian dalam berkehidupan masyarakat, hatta kematian dan pasca kematian. Budaya Jawa memiliki nilai-nilai dalam bentuk tradisi yang sangat rigid, dan komplit. Namun, bentuk nilai-nilai dalam tradisi yang sangat rigid dan kompleks ini adalah bukannya hampa makna. Setiap tradisi dan nilai-nilai Jawa memiliki makna yang luhur. Dan muara akhir dalam pengaturan hidup dengan nilai-nilai Jawa adalah agar tercapainya “slamet” (selamat dalam menjalani kehidupan).
Tradisi penghentian hubungan seks dengan pasangan pasca kebermilikan cucu, juga dilatari oleh sebuah konsepsi nilai dalam budaya jawa. Yaitu nilai ajaran mengurangi napsu atau birahi dalam hidupnya, dalam khasanah tembang macapat masuk dalam kategori tembang pangkur.
Pangkur berarti buntut atau ekor. Oleh karena itu pangkur kadang-kadang diberi sasmita atau isyarat tut pungkur berarti mengekor dan tut wuntat berarti mengikuti. Penerjemahan lain, pangkur berasal dari kata mungkur (mundur) yang berarti sudah memundurkan semua hawa napsu, yang dipikirkan hanya berdharma kepada sesama makhluk. Dari kata mungkur atau mundur, disini dilambangkan orang yang sudah tua. Dan bagi masyarakat jawa, simbah (memiliki cucu) adalah bentuk dari orang yang sudah tua. Diharapkan dari tembang pangkur adalah menahan nafsu dan keinginan-keinginan, memperbanyak ibadah.
Nyudo hawa napsu dengan tradisi pisah tempat tidur dan tidak berhubungan seks hanyalah salah satu bentuk cara agar dalam usia tua sudah tidak lagi ngujo hawa. Mengurangi napsu dan birahi hanyalah bentuk dari tahapan proses kehidupan untuk mempersiapkan tahapan kehidupan berikutnya. Yaitu tahapan megatruh dalam khasanah tembang macapat, kemudian juga untuk menghadapi proses kehidupan berikutnya yaitu pucung.
Budaya jawa memiliki puncak idealitas dalam kematian, yaitu mencapai tingkatan kasedan jati dan sejatining seda (mati dalam keadaan yang benar-benar “benar”; dalam khasanah Islam mati dalam keadaan khusnul khatimah). Dan konsep idealitas dalam kematian yang sejati di Jawa bisa dicapai ketika ia benar-benar sudah mungkur (mengurangi bahkan menghilangkan napsu atau birahi). Kenapa kematian perlu dihadapi dengan persiapan-persiapan yang seperti ini? secara semantic, megatruh berarti megat ruh (putusnya nyawa dari raga). Atau sering banyak orang menyebut megatruh menika nek pegat tanpa aruh-aruh (kalau nyawa ini akan putus, maka tanpa ada sinyal atau tanpa permisi dulu). Inilah mengapa kemudian tahapan megatruh (kematian) harus dipersiapkan.
Setelah megatruh, tahapan manusia selanjutnya adalah pocung. Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Sebelum di bungkus kain kafan, raga yang mati tadi harus dimandikan sehingga suci—dengan demikian, pocung adalah simbolisme kematian yang semuprna. Dalam dan luar suci. Raga suci dengan dimandikan, luar suci dengan kain kafan yang putih.Kematian yang sempurna (kasedan jati lan sejatining seda) adalah awal dari masuknya ke kehidupan berikutnya, dan ketika manusia mencapai tingkatan kematian ini—maka swargaloka panggonane (surga tempatnya). Inilah yang kemudian masuk dalam konsep slamet (salam;islam).
Masihkah nilai-nilai kearifan lokal pendidikan seks yang berbentuk tradisi ini—yang menjadi kekhasan budaya—hidup ditengah-tengah masyarakat kita. Kalaupun masih ada, saya pikir nilai-nilai yang berbentuk tradisi ini kini berada di persimpangan jalan yang mulai ditinggalkan oleh kebanyakan orang yang bertempat tinggal didalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H