Baru tersadar. Beberapa waktu lalu membaca artikel berbahasa Inggris tentang fakta pendidikan di Indonesia. Penulis mengupas tentang beberapa kekurangan pendidikan di indonesia. Yang menjadi perhatian saya adalah tentang kwalitas pengajar: guru atau dosen "Under qualified," kata penulis.
Tema-teman waktu masih kuliah dulu, jika ditanya mau kemana, suka menjawab "Mau ngajari dosen cara mengajar." Narsismenya nampak sekali, tetapi itu bisa jadi kenyataan. Soalnya dosen saya dan beberapa dosen juga mengakui bahwa mengajar mahasiswa itu tidak perlu banyak metode sebab mahasiswa sudah dituntut mandiri.
Tetapi, membuat mahasiswa belajar mandiri bukan berarti tidak peduli dengan kwalitas kemampuan mereka. Apalagi guru. Banyak sekali kasus ditemui guru tidak menguasai materi yang dihandel dan lebih aneh lagi dia tidak mau dan tidak ada kemauan untuk meningkatkan kemampuan diri dengan mengatakan "Tergantung anaknya," begitu katanya. Luar biasa.
Sehingga muncul banyak LBB (Lembaga Bimbingan Belajar), ada juga yang les pada gurunya. Tetapi ada beberapa sekolah yang melarang guru menerima les siswa sendiri. Ada teman yang berkomentar, "Kenapa tidak dihapus saja sekolahnya, cukup belajar di LBB?" Habisin biaya saja.
Kenapa guru begitu meskipun sudah berstatusu PNS? Menurut saya, karena gajinya sama. Ya, mau yang skilnya bagus atau tidak, gajinya sama.
Akan berbeda jika gaji guru berdasarkan jumlah siswa yang belajar padanya, artinya siswa diberi kebebasan memilih guru yang mana yang akan mereka ikuti. Tetapi bukan berarti seratus persen siswa memutuskan sendiri, orang tua dan para guru senior termasuk guru BK mesti ikut andil.
Kata bapak Mario Teguh, motivator itu adalah teladan. Bagaimana bisa memberi teladan untuk semangat belajar, kalau gurunya sudah merasa kelebihan ilmu alias sama sekali tidak mau belajar? Hobinya menghitung gaji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H