Membakar hutan, secara terbatas dan terkendali, bisa dilakukan oleh siapa saja di Indonesia. Asal ada ijin dari desa, camat, atau gubernur, tergantung luas lahan yang mau dibuka.
Salah satu pembakar hutan adalah Yanto (40), begitu namanya. Lelaki Dayak aseli, yang saya temui di tengah hutan Borneo di wilayah Entikong itu, adalah salah satu pembakar hutan di Kalimantan.
Lelaki Dayak Sukung yang rambutnya telah memutih ini, peladang berpindah yang bercocok-tanam dengan (terlebih dulu) membakar lahan-hutan. Tapi ia bukan pengusaha besar. Bukan pemilik pabrik sawit atau pulp. Ia hanya bertanam jagung, sahang (merica), lada hitam, atau pulut (ketan). Sekali babat (bakar) hutan, bisa sampai 3-6 hektar, yang ijinnya bisa diurus di kepala desa atau paling banter camat. Syaratnya mudah. Hanya dengan foto-copy KTP saja.
Ladangnya berpindah-pindah. Bukan karena tuan tanah. Tapi ia harus membuka ladang terlebih dulu. Membakari hutan, kemudian mendiamkan selama 6 bulan, lantas mengolah tanah, dan baru kemudian menanaminya. Sehabis panen, ia harus cari tempat lain lagi.
Yanto mengerjakan sendiri saja. Menanam sahang, lebih menguntungkan, karena sekilo bisa dijual di Malaysia seharga Rp 40-an ribu. Kenapa ke Malaysia? Untuk mencapai pasar Malaysia, hanya butuh waktu 2-3 jam dengan sepeda motor, menembus hutan atau jalan setapak. Lagi pula, di sana banyak tukang tadahnya. Ke pasar Entikong, justeru harus jalan kaki, sambung speedboat, jalan kaki lagi, speedboat lagi, membutuhkan 12 jam jika air (sungai) baik. Dan biayanya? Bisa di atas Rp 1 juta, karena untuk speedboat, habis bensin 80-an liter. Padahal harga di Entikong lebih rendah dari Malaysia.
Yanto secara nomaden, tinggal di rumah bedeng daruratnya. Hanya dengan konstruksi bambu, dinding kain-kain poster atau baliho. Tetapi di dalamnya sangat komplit. Ada TV 21inc, dvd player, antena parabola, dan mini-genzet untuk semua kebutuhan itu. Ada juga kompor gas, dan beberapa dvd karaoke.
Peladang berpindah, memang pekerjaan yang menjanjikan. Kalau hasil baik, dari ladang pulut misalnya, dalam setahun dan sekali tebas, ia bisa mendapat sedikitnya Rp 200 juta. Untuk sahang dan lada hitam, akan jauh lebih tinggi lagi.
"Punya keluarga?" saya bertanya padanya.
Yanto menggeleng. Sudah 20 tahun ia hidup sendiri, dan sepanjang itu pula ia tinggal di tengah hutan, atau di pinggir sungai.
"Kenapa tidak tinggal di kota saja, dengan pendapatan sebesar itu?"
Yanto hanya menggeleng, dengan sesungging senyum.