Mohon tunggu...
masunardi
masunardi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen

hanya dosen jelata...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Menteri Yuddy, Yakin Syarat PNS Hanya Lulus Cum Laude?  

4 November 2015   12:10 Diperbarui: 4 November 2015   12:38 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Selamat siang Pak Menteri Yuddy.

Langsung saja ya Pak, sedikit tulisan uneg-uneg berkaitan dengan wacana  mengangkat dengan otomatis sarjana cum laude menjadi PNS atau sekarang disebut aparatur sipil negara (ASN). Cuma mau menanyakan apakah itu serius dan sudah pasti? Bukan main-main dan hanya guyonan menjelang reshuffle tahap 2? Bukan apa-apa sih, cuma kok kesannya agak gimana gitu. Bukan protes lho Pak, cuma sedikit aneh saja kalau parameternya hanya nilai IPK cum laude kemudian otomatis menjadi PNS dan bahkan boleh memilih di institusi mana saja.  Maaf Pak, saya juga bukan iri, karena kebetulan saya sudah PNS dan dulu saat lulus  S1 dan S2 juga kebetulan lulus dengan predikat  Cum Laude semua, dari UGM lho pak, bukan universitas abal-abal. Dan lima belas tahun yang lalu memperoleh nilai A tidak segampang sekarang.

Kenapa saya merasa agak nggak enak pak, karena kalau parameternya hanya cum laude, berarti negeri ini seolah hanya perlu orang yang dianggap pintar berdasarkan angka-angka IPK.  Apakah parameter pintar atau cerdas hanya IPK? Benarkah? Apalagi kriteria universitas ternama juga sangat tidak jelas ketentuannya, tentu saja semua universitas akan merasa ternama, minimal di daerahnya. Atau universitas ternama maksudnya adalah PTN? Wah kalau itu kriterianya pasti akan diprotes banyak perguruan tinggi swasta yang merasa ternama. Atau syaratnya terakreditasi A? Kalau syaratnya itu pasti juga akan diprotes oleh sebagian PTN yang ada di luar Jawa, lha fasilitas kami saja minim kok harus disamakan dengan universitas di pulau Jawa. Akreditasi institusi memang tak selalu identik dengan fasilitas yang lengkap pak, tetapi  fasilitas yang lengkap akan memudahkan proses belajar-mengajar dan penelitian. Kami yang ada di Kalimantan listrik saja sering mati lho Pak.  IPK juga sering kali tidak bisa digunakan untuk mengukur kecerdasan dalam makna yang sebenarnya lho pak, kecerdasan intelektual, emosional dan juga spiritual. Dan saat ini hampir semua institusi pemerintah juga sudah melakukan penyaringan yang agak ketat, tak hanya berdasar IQ saja karena EQ dan SQ juga sangat penting.

Selain itu dampak buruk juga mungkin akan terjadi, nanti anak-anak kita kuliah hanya demi menjadi pns. Perguruan tinggi “ternama” akan semakin mahal karena akan menjadi jalan tol untuk menjadi pns. Dan agar banyak lulusannya yang jadi pns, maka para dosen bisa diajari bagaimana membuat nilai mahasiswa bagus, demi bisnis pendidikan lebih bergengsi. Dan untuk memperoleh IPK tinggi maka bagi mahasiswa proses tak akan begitu penting karena hasil akhir adalah segalanya. Masih wajar kalau nanti demi fokus mengejar nilai A, mereka jadi anti sosial  karena tak mau terganggu dengan kegiatan mahasiswa yang tak ada hubungannya dengan nilai. Paling-paling nanti tak pernah akan ada lagi demonstrasi mahasiswa karena akan mengganggu belajar dan tak ada lagi UKM mahasiswa karena dianggap mengganggu kuliah. Bagi mahasiswa, yang perlu dipikirkan hanya bagaimana memperoleh nilai A dan lulus kurang dari 4 tahun demi masa depan yang terjamin negara.

Itu efek negatif yang masih lumayan belum parah yang mungkin terjadi, lha kalau mereka juga main curang, mencontek atau yang lain demi sekedar IPK dan PNS? Lagipula standar nilai beberapa PTN saja berbeda, ada beberapa yang nilai itu ada A, B, C, D tapi ada juga yang A, B+, B, C+, C, D+ dan D+. Untuk yang menerapkan penilaian dengan cara kedua akan lebih mudah dapat cum laude lho pak menteri.

Pak Menteri Yuddy seharusnya tak perlu khawatir, orang pintar tak akan tersia-siakan di negeri ini. Apalagi hanya tes CPNS, mereka bisa lulus dengan tutup mata kok. Karena tes kerja di perusahaan swasta seringkali lebih sulit dari tes CPNS. Lagipula yang dicari bukan sekedar pintar apalagi hanya sekedar predikat Cum Laude kan Pak?  

Maaf Pak Menteri, bukan saya keberatan dengan kebijakan itu. Tetapi mungkin lebih bisa didetailkan lagi kriterianya. Berprestasi juga tidak identik dengan cum laude. Banyak anak-anak kita yang berprestasi tapi tidak cum laude, banyak anak-anak kita yang menginspirasi tetapi tidak cum laude. Karena kuliah tidak sekedar mengejar nilai cum laude.  Tenang saja Pak, orang cerdas (bukan sekedar cum laude) tak akan tersia-siakan di negeri kita. Kalaupun ada yang tersia-siakan di negeri sendiri, negeri lain pasti mencari mereka.

Maaf Pak Menteri, itu saja uneg-uneg saya. Selamat bekerja. Semoga Bapak tidak termasuk yang kena reshuffle kabinet jika ada jilid 2, karena ide-ide Bapak setahun ini memang luar biasa.  Negeri ini perlu lebih banyak orang pintar, jujur, bisa bekerja dan peduli. Bukan sekedar orang dengan angka-angka yang tercetak di ijasahnya. Sekolah bukan sekedar mengejar angka kan Pak?

Salam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun