Mohon tunggu...
masunardi
masunardi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen

hanya dosen jelata...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sehatnya Orang Sakit di Jepang

15 Desember 2015   09:37 Diperbarui: 16 Desember 2015   01:09 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lho kok judulnya sehatnya orang sakit?! Pengalaman berhari-hari berada di rumah sakit di Jepang beberapa bulan yang lalu menyisakan banyak cerita. Beberapa sudah saya tuliskan di kompasiana ini, termasuk tentang Hoka-hoka Bento di Jepang yang selang sehari kemudian ada di www.tribunews.com dengan ijin belakangan setelah teman kompasianer lain marah-marah dan mencolek admin untuk mengingatkan pihak yang bersangkutan.

Selain jaminan asuransi yang bagus sehingga membuat orang sakit mudah sembuh karena tidak dibebani pikiran tentang biaya, layanan rumah sakit Jepang juga sangat berbeda. Keluarga pasien juga harus percaya sepenuhnya dengan pelayanan medis di rumah sakit. Pasien rawat inap tidak boleh ditunggu 24 jam, jam besuk untuk keluarga mulai dari jam dua belas siang sampai jam Sembilan malam. Itupun hanya orang tua atau kakek dan neneknya yang diperbolehkan masuk, selain itu dilarang keras. Kalau memaksa ingin menunggu 24 jam maka harus bayar kamar yang relatif sangat mahal. Jadi ketika itu kami harus bolak-balik ke rumah sakit, pagi berangkat malam pulang selama lebih dari 20 hari. Dan biaya total rumah sakit selama itu jauh lebih murah dari ongkos kereta kami untuk perjalanan, karena kebetulan rumah sakit tersebut berada di luar kota. Apalagi pada saat itu juga bersamaan dengan bencana taifun besar yang melanda Jepang, khususnya Tochigi perfecture, tempat kami tinggal.

Mungkin memang manusia Jepang sangat mandiri dan professional dalam segala hal. Manusia seperti layaknya mesin seperti dituliskan oleh Fritjof Capra dalam bukunya Titik Balik Peradaban. Jika tangan yang sakit maka hanya tangan yang sakit, anggota badan lain yang tidak sakit harus berfungsi seperti biasanya. Orang sakit tidak boleh manja. Selama bisa melakukan suatu hal sendiri maka harus dilakukan sendiri. Pada saat awal-awal datang ke rumah sakit kebetulan melewati jam makan siang, kantin rumah sakit penuh dengan orang yang membeli obento untuk makan mereka. Bukan cuma para tenaga medis ataupun para keluarga pasien rawat inap dan pasien rawat jalan, tetapi juga para pasien rawat inap yang sebagaian sambil mendorong tiang infuse mereka. Kesannya juga biasa saja, seolah tak seperti kesakitan. Beberapa malah dengan santainya lalu lalang di rumah sakit sambil mengendarai kursi roda sendiri, plus selang infuse juga. Mungkin sakit mereka memang tak berkaitan langsung dengan aktifitas gerakan, sehingga mereka juga harus tetap sehat di organ yang lain. Sebagian juga dengan asyiknya bercengkerama di starbucks café sambil menghabiskan waktu, dan tetap dengan selang infuse juga. Perhatikan foto seorang kakek dengna infus sedang nongkrong minum kopi.

Saya kira juga cuma orang dewasanya, tetapi ternyata tidak. Termasuk anak saya juga dipaksa mandiri melakukan sesuatu sendiri, selama penilaian tim perawat dia mampu melakukannya sendiri. Bahkan dua hari setelah operasi, setelah diperbolehkan duduk maka jika perlu ke toilet dia harus jalan sendiri sambil mendorong tiang infusnya ke toilet. Anak lelaki saya baru berumur 4 tahun dan cukup manja jika dengan orang tuanya. Saat itu, perawat hanya datang kemudian merapikan kabel mesin infuse dan menurunkan dari bed lalu menyuruh anak saya jalan sendiri sambil memotivasi: “Ganbatte Abe kun!”. Dia mengiringi dari belakang saja. Dan ketika anak kami mau ke toilet lagi saat kami ada di rumah sakit perawatnya juga berpesan sama dengan yang mereka lakukan, jangan di gendong dan disuruh jalan sendiri. Waduh…sebenarnya tidak tega, tapi mau bagaimana lagi…ternyata SOP begitu…! Masih mending anak saya yang operasinya agak ringan, saat itu ada anak satu ruangan yang tetap bermain dengan riang di tempat main (setiap blok disediakan tempat khusus bermain anak) padahal kepalanya sudah digunduli dan sudah digambari dengan spidol, sepertinya akan operasi bedah di bagian kepala).

Anak lelaki saya yang harus tetap mandiri setelah operasi

 

Kesan angker dan sakitnya rumah sakit seolah tak terlalu terasa. Aktifitas keluarga pasien seolah juga tak boleh terganggu karena ada salah satu anggota yang sakit, semua harus tetap bekerja. Bagi orang Jepang bekerja adalah keharusan agar tetap bisa makan. Jadi ingat di tanah air, ketika ada yang sakit terkadang satu keluarga besar akan memenuhi kamar rawat, dan setiap sore tetangga satu kampung akan membesuknya. Padahal mungkin di antara pembesuk bisa jadi akan membawa virus atau penyakit tambahan. Di Jepang semua harus steril, jika dirawat di kelas ekonomi yang satu kamar berisi 4 orang maka jika ada satu yang kena flu atau penyakit menular akan segera dipisahkan. Tak boleh ada yang masuk kecuali orang tua atau kakek-nenek (untuk pasien anak-anak), termasuk saat Sensei kami datang menengok, dia hanya diijinkan bertemu kami di luar ruangan dan hanya potret keadaan anak yang kami tunjukkan. Dan alhamdulillah, anak kami telah sehat sehingga cerita ini bisa tertuliskan agar tidak terkesan sebagai sebuah keluhan. Sekedar berbagi pengalaman untuk belajar, semoga bermanfaat.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun