Mohon tunggu...
masunardi
masunardi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen

hanya dosen jelata...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Antara Prof. SBY; Prof. Rhoma Irama dan susahnya dosen sungguhan…

13 Juni 2014   03:19 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:58 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini tanggal 12 Juni menjadi hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, satu lagi gelar Profesor diberikan kepada warga negara yang bukan Dosen setelah Prof. A.M Hendropriyono.Presiden RI lengkap bernama Prof. Dr. Jend. Susilo Bambang Yudhoyono, lebih hebat dari Prof. Dr. Habibie karena Habibie tidak punya gelar Jenderal.Tren memiliki gelar Dr. rupanya belum menjadi puncak prestise dari gengsi seseorang, karena setelah doktor yang bisa diraih melalui bangkukuliah maupun penghargaan (Honoris Causa), maka gelar Profesor yang saat ini menjadi jabatan akademik tertinggi seorang dosen pun diincar oleh non dosen melalui penghargaan juga, bukan jalur normal yang sedemikian sulitnya bagi seorang dosen (harus doktor, punya publikasi internasional, buku dll.)

Sebelumnya Prof. Rhoma Irama sempat mencantumkan gelar tersebut yang (katanya) diberikan oleh University of Hawai) meski pada akhirnya agak sedikit di ralat setelah tidak bisa diargumenkan.Kemudian Hendropriyono yang memperoleh gelar sebagai Profesor intelijen pertama di Indonesia.Hari ini SBY dianugerahi oleh Pak Menteri sebagai professor pertama bidang pertahanan meski latar belakang S3 yang diambil saat menjadi menteri bidangnya social ekonomi.Ini yang mengusik ramainya diskusi dikalangan dosen melalui obrolan maupun di grup BBM dan fesbuk.Sebelumnya pemerintah SANGAT memperketat kenaikan pangkat dikalangan dosen terutama jenjang GURU BESAR/PROFESOR, misalnya dengan aturan minimal telah 10 tahun mengabdi, angka kredit minimal 850 KUM yang berasal dari unsure terbesar pendidikan dan pengajaran serta penelitian, serta syarat adanya publikasi pada jurnal internasional maupun jurnal akreditasi.Bahkan karena prestise dan tunjangan kehormatan yang sebesar 4 kali gaji pokok membuat para dosen berbondong-bondong naik pangkat menjadi guru besar meski sebagian besar gagal karena tidak memenuhi syarat.

Dalam aturan memang terdapat point dimana seseorang dapat menjadi guru besar kehormatan jika dianggap berprestasi dalam bidang tertentu dan mungkin Prof. SBY dan Prof. Hendroriyono contohnya, namun hal tersebut di satu sisi membuat para dosen bengong dan sedih serta mungkin iri.Syarat kelinieran bidang ilmu juga menjadi hambatan tersendiri para dosen untuk meraih gelar professor.Linier dalam jenjang pendidikan S3 terutama, jadi seorang professor bidang pertanian harus mempunyai gelar S3 bidang pertanian, bahkan akan ditelusuri detail bidang pertaniannya apakah benar-benar sama atau tidak dengan artikel yang dipublikasikan maupun disertasinya saat mengambil S3.Seorang dosen yang tidak rajin penelitian dan publikasi sesuai bidang tidak akan pernah bisa menjadi professor meskipun sudah 15 tahun pada jenjang dibawahnya (Lektor Kepala), meskipun mungkin kepakarannya sudah menunjukkan banyak hasil.Apalagi di masa sekarang, dosen seolah menjadi profesi yang sangat dipandang sebelah mata, selain karena tidak ada remunerasi bagi dosen meski bagi staf pendidikan non dosen ada juga karena banyaknya beban kerja yang harus dijalani berupa Tri Dharma Perguruan Tinggi dan pada akhir-akhir ini banyak yang pusing karena harus mengisi SIPKD online sebagai bahan penilaian kinerja dosen secara langsung.Untuk mempertahankan gelar professor, maka nanti akan dievaluasi produktifitas yang bersangkutan dalam hal penelitian, penulisan artikel ilmiah dan juga buku yang ditulis.Jika tidak memenuhi syara maka gelar itu akan di cabut.

Pada akhirnya nanti orang akan menjadi jalur bebas hambatan untuk menjadi professor, salah satunya menjadi politisi maupun menjadi pejabat negara.Dan profesi dosen menjadi semakin tidak bergengsi lagi…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun