Mohon tunggu...
jiebrut sunardhi
jiebrut sunardhi Mohon Tunggu... -

Daddy's little girl..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

‘Kaca Mata untuk Hilmi’...

29 Oktober 2013   15:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:52 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usianya masih 8 tahun, tepatnya saat ini dia duduk di kelas 4 Sekolah Dasar...

Bocah kecil yang masih sangat polos dan harus menghadapi, menjalankan Pahitnya Hidup...

Hidupnya bisa dibilang kekurangan, Kasihan.. masih sekecil itu dia belum merasakan bahagia seperti anak kecil pada umumnya.

Ayahnya hanya seorang Sopir Angkot, untuk makan sehari – hari dan biaya sekolah, hanya mengandalkan hasil setoran setiap harinya.  Terkadang uang yang didapat  tak seberapa, itu pun harus dipotong untuk setor ke pemilik kendaraan.

Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang bisa dibilang tidak memiliki keahlian apa – apa, untuk menambah sekaligus membantu penghasilan suaminya, Bu Nina menjual es dan ‘jajanan’ untuk anak kecil di teras rumahnya.

Seharusnya di usia Hilmi sekarang, dia sedang asiknya bermain dengan teman sebaya nya, ataupun sedang bahagianya memiliki mainan baru, namun itu semua bukanlah Hilmi...

Hilmi harus mengurungkan niatnya untuk meminta mainan baru ataupun bermain di wahana pemainan, bagi hilmi itu semua tak mungkin dia sampaikan permintaan itu kepada ayahnya.

Perawakan hilmi bisa dibilang kurang sehat untuk seusianya, badan nya kecil, tinggi badan nya pun tidak Proporsional. Sering kita jumpai anak – anak kecil yang bermain di sore hari, bermain kelereng, main bola ataupun hanya menonton di pinggir lapangan, itu semua hampir tidak pernah dilakukan oleh hilmi, yaaa... Hilmi bukan anak yang aktif dan periang, dia lebih sering menyendiri, dia pun jarang berinteraksi dengan orang lain.

Aku sering menjumpai dia duduk di pinggir sawah, entah apa yang ada di benaknya.., tatapan nya melayang jauh, lurus ke depan..., Meskipun matanya samar dan buram, namun aku tau, Harapan itu jelas di matanya, dia simpan di puncak gunung Halimun.

Sudah sering kali hilmi mengeluhkan keadaan matanya kepada sang ibu, Hilmi selalu merengek untuk diajak ke Dokter Mata terdekat, Hilmi mengeluhkan matanya buram sehingga kurang bisa menangkap dengan sempurna apa yang guru terangkan di Papan Tulis, keadaan ini membuat sang Wali Kelas berinisiatif untuk memindahkan duduk hilmi di barisan paling depan, akan tetapi masalah belum selesai sampai disitu, meskipun sudah duduk di barisan paling depan namun hilmi masih belum bisa melihat dengan jelas, hal ini membuat ibunda hilmi gusar, setelah mempertimbangkan dengan sang suami, akhirnya hilmi pun dibawa ke Dokter Mata untuk di periksa lebih lanjut.

Keadaan ini jelas – jelas membuat sang ibu gusar, banyak sekali fikiran jelek ataupun sekelebat hal terpahit yang ada di otaknya, sebisa mungkin dia buang jauh – jauh perasaan itu, beberapa hari kemudian, hasil dari pemeriksaan dokter pun sudah bisa diambil di Loket, siang itu matahari begitu panasnya, sang ibu tergopoh gopoh  mengantri di Loket pengambilan hasil pemeriksaan dokter, alangkah terkejutnya sang ibu pada saat sang Apoteker menjelaskan keadaan mata hilmi dengan terperinci. Mata hilmi di diagnosis tidak hanya Minus untuk penyakit mata seusianya, tetapi matanya mengidap kelainan mata Silinder, pihak Rumah Sakit menjelaskan bahwa jika hilmi ingin melihat dengan jelas, hilmi harus menggunakan kacamata khusus silinder, dengan permukaan lensa yang cukup tebal, sang ibu hanya manggut – manggut mendengarkan penjelasan dari pihak rumah sakit.

Sesampainya dirumah, sang ibu menceritakan keadaan hilmi kepada sang suami, ayah hilmi hanya mendengarkan dengan tatapan berlinang airmata, Sudah sejak 3 tahun yang lalu ayah hilmi mengidap sakit jantung , kondisi ini selalu diabaikan nya, dia tidak peduli dengan sakit dan sesak di dadanya, angin malam dan gerimis hujan dia tetap narik angkot, karena hanya itu mata pencaharian nya.

Bu Nina merenung di  teras rumahnya, memikirkan harus mencari uang kemana untuk membeli kacamata hilmi, dadanya sesak seketika saat ingat ucapan pihak rumah sakit yang mengatakan harga kacamata untuk mata silinder sekitar 3 juta , mau dicari kemana uang sebanyak itu, bahkan beras untuk makan siang ini pun dia tak punya.

Hari rabu, hilmi pulang sekolah dengan tatapan muram, sangat tampak bekas airmata di matanya, matanya merah, ada sedikit kotoran di sudut matanya,.. Debu – debu jalanan dan asap knalpot membuka wajahnya terlihat sangat kusam, dia bercerita kepada ibunya bahwa apa yang tadi pak guru jelaskan di papan tulis, sama sekali dia tidak bisa melihat dengan baik, apalagi untuk menyerap pelajaran.

Keadaan ayah hilmi semakin memburuk, sudah seminggu ini sang ayah tidak narik angkot, jangankan untuk narik angkot.., untuk turun dari tempat tidur pun dia tak mampu, sampai pada satu hari, ditengah malam yang dingin, sang ayah di bawa ke rumah sakit terdekat, dikarenakan terkena serangan jantung dan tidak sadarkan diri, keadaan ini membuat kondisi sang istri menjadi stress tingkat tinggi, uang sepeser pun tidak ada, belum lagi harus mengurus dokumen untuk urus surat keterangan tidak mampu, hampir dua minggu ayah hilmi dirawat di rumah sakit, tapi kondisinya belum ada kemajuan, Saat – saat seperti ini merupakan situasi yang paling sulit yang pernah dialami oleh ibu nina, airmata nya selalu tercurah untuk kesembuhan sang suami tercinta, hari bergulir begitu cepat.

Hari itu aku mendengar kabar bahwa ayah hilmi meninggal dunia, dokter sudah berusaha sangat maksimal, namun semua keputusan Tuhan yang menentukan.. Tuhan telah menunjuk kan kasih sayang terhadap umatnya, Tuhan angkat penyakitnya dan Tuhan pun membawa nya pulang.

Di hari pemakaman sang ayah, wajah hilmi terlihat sangat sedih dan hancur, sebisa mungkin dia menutupi kesedihan nya untuk menguatkan sang ibu, namun aku bisa merasakan kepedihan nya, kesakitan nya sudah menjadi bagian dari sakit ku.

Aku berfikir untuk menanggung semua biaya hidup keluarga hilmi, karena aku adalah keponakan dari ayah hilmi... aku ikhlas, aku percaya rezeki yang Tuhan beri untuk ku, sama sekali bukan sepenuhnya milik aku.

Ingin rasanya aku membantu beban mereka, namun saat itu kondisi aku pun sedang tidak mempunyai pekerjaan, sudah ratusan surat lamaran kerja aku kirimkan ke beberapa perusahaan, namun yang aku dapat hanya panggilan wawancara yang tidak berujung dengan kabar baik,

Hilmi bukan lah anak kecil yang cengeng, hidup harus terus berjalan.. begitu juga dengan sang ibu yang banting tulang untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, dari berjualan sayuran, sampai  menjadi pembantu rumah tangga rela dijalani nya, hanya agar sekolah hilmi tidak terputus sampai disitu saja.

Sambil mencuci pakaian sanjg majikan, tak jarang khayalan sang ibu melayang jauh, dia membayangkan kelak sang anak bisa sekolah sampai perguruan tinggi.. itu cita – citanya.

Sang ibu kembali datang ke rumah sakit untuk bertanya lebih lanjut mengenai kacamata yang harus dibeli untuk hilmi, namun.. kerisauan sang ibu belum berhenti sampai disitu, pihak rumah sakit menjelaskan bahwa kacamata yang cocok untuk mata hilmi tidak tersedia di kota tempatnya tinggal.., kacamata itu harus di beli di Jakarta, mendengar semua itu sang ibu hanya bisa menarik napas panjang dan berat, dia membayangkan untuk ongkos ke jakarta yang tidak murah, belum lagi dia harus mencari uang untuk membeli kacamata, harus berapa banyak uang yang harus dia siapkan??????

Dengan langkah gontai sang ibu pulang ke rumah, iya.... dia harus bekerja lebih keras lagi, namun dia selalu percaya Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan nya,...

Hari ini gaji pertama ku di tempat kerja yang baru, Alhamdulillah.. sebulan yang lalu aku mendapat panggilan kerja di salah satu perusahaan internasional, mungkin ini jalan Tuhan untuk kehidupan aku, bahagia nya aku bisa mewujudkan mimpi hilmi untuk memiliki kacamata, aku tidak akan membiarkan Ibu Nina untuk pergi ke jakarta, namun.. aku yang akan mencari kacamata itu, aku yang akan membuat hari – hari hilmi menjadi indah..aku yang akan membeli kacamata itu untuk hilmi,  semoga hilmi bahagia..termasuk mendiang ayahnya di sisi Tuhan...

Hilmi mendengarkan penjelasan guru dengan seksama, matanya bersinar bahagia dengan apa yang sudah ia lihat.. sementara itu di sudut sana, sang ayah tersenyum bahagia melihat Hilmi.

‘Aku sangat bahagia disaat bisa membahagiakan ataupun meringankan beban mereka...’

Catatan Penulis :

Tulisan ini belum sempurna, namun aku berusaha menyempurnakan nya dengan membantu keluarga Hilmi..

...semuanya aku persembahkan untuk ayahanda Hilmi tercinta, Alm. Untung Suryana.

Biodata Penulis :

Nama  :           Pujiati Ramdiyani

Email : jiesunardhi@gmail.com

HP       :           0812-912-64549

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun